Liputan6.com, Jakarta Hari ini 9 tahun lalu, tepatnya Senin 4 Oktober 2010, mungkin tak akan pernah luput dalam ingatan warga Wasior, Kabupaten Teluk Wondama, Papua Barat. Hari itu, sekitar pukul 08.30 WIT, saat warga hendak memulai aktivitas, terdengar suara gemuruh bersama datangnya luapan air Sungai Batang Salai.
Bagaikan tsunami, banjir bandang menyapu bersih rumah di wilayah itu. Rumah warga yang rata-rata semi permanen dari kayu hanyut dan runtuh akibat terjangan banjir.
Advertisement
Warga yang sudah ke luar rumah bergegas menyelamatkan diri ke perbukitan. Sedangkan warga yang masih tinggal di dalam rumah, sebagian besar tak bisa menyelamatkan diri.
Hampir semua infrastruktur di Wasior hancur, termasuk lapangan udara, rumah sakit, jembatan, dan juga beberapa gereja. Bencana banjir bandang yang terjadi juga mengganggu hubungan komunikasi, jaringan listrik terputus, dan aktivitas masyarakat lumpuh.
Lapangan terbang yang digenangi oleh banjir juga memutus jalur udara menuju Wasior. Satu-satunya jalan menuju daerah itu adalah jalur laut yang harus ditempuh selama 10 jam perjalanan dari Manokwari dengan menumpang armada patroli Angkatan Laut atau kapal pengangkut kayu.
Banjir bandang ini menyebabkan 158 orang tewas dan 145 orang dinyatakan hilang. Sebagian besar korban luka-luka dibawa ke Manokwari dan Nabire. Sementara sebagian korban luka lainnya dan warga yang selamat ditampung di tempat-tempat pengungsian.
Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menampung sedikitnya 4.771 pengungsi korban banjir bandang Wasior di Manokwari, Papua Barat. Berdasarkan data BNPB, ribuan pengungsi itu tersebar di beberapa lokasi pengungsian di Manokwari.
Jumlah pengungsi terbanyak ada di komplek Balai Latihan Kerja Manokwari, yaitu sebanyak 1.245 orang. Kemudian di Lapangan Kodim Manokwari sebanyak 972 orang Sementara itu, BNPB mencatat 2.554 orang pengungsi melakukan pengungsian mandiri, atau kembali ke keluarga masing-masing di kawasan Manokwari.
Selain di Manokwari, BNPB juga mendata 2.652 pengungsi masih bertahan di Wasior, tempat bencana banjir bandang terjadi beberapa waktu lalu. Mereka tersebar di enam lokasi penampungan pengungsi. BNPB juga mencatat 355 pengungsi ditampung di Nabire.
Liputan6.com yang mendatangi lokasi banjir ketika itu, menyaksikan langsung parahnya kondisi di Wasior. Banjir bandang yang menerjang tidak hanya disertai lumpur dan pohon besar, tapi juga batu besar.
Ini terlihat salah satunya di Desa Moru yang berjarak sekitar dua kilometer dari Kota Wasior. Batu-batu berukuran lima hingga tujuh meter ikut hanyut bersama banjir.
Menurut Bashan Sayori, salah seorang warga, batu-batu ini datang bersamaan dengan banjir Senin lalu.
"Saya tidak tahu datangnya darimana. Saat kejadian saya mendengar suara gemuruh seperti buldozer meruntuhkan bangunan," kata Bashan.
Bashan menambahkan, Kali Senduai, Rado, dan Anggris, tidak pernah selama ini meluap bersamaan. Namun sekarang meluap berbarengan.
"Saat banjir warga Moru mengungsi ke Rado. Namun di tempat itu banjir malah lebih parah," katanya.
Di malam hari, kondisinya lebih memprihatinkan. Kota Wasior bak kota mati. Malam hari terasa rawan dan mencekam karena tak ada penerangan lantaran seluruh jaringan listrik terputus. Bahkan, sepekan setelah peristiwa, belum terlihat adanya aliran listrik dari PLN.
Akibatnya, pengungsian pun makin ditinggalkan warga yang tidak tahan dengan kondisi tersebut. Selain itu, sebagian besar warga sudah tidak terlihat karena mengungsi ke Manokwari.
Para pengungsi mengaku khawatir terhadap cuaca buruk di Wasior. Mereka juga takut jika sewaktu-waktu banjir bandang susulan datang. Berdasarkan pantauan Liputan6.com, hujan dengan intensitas ringan hingga berat terus melanda Wasior dari pagi hingga petang sejak banjir bandang melanda.
Silang Sengkarut Penyebab Banjir
Sepuluh hari setelah kejadian atau Kamis 14 Oktober 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meninjau lokasi banjir bandang di Kampung Sanduay, Wasior, Teluk Wondama, Papua Barat.
Pada kesempatan itu, SBY mengatakan banjir bandang pada Senin 4 Oktober 2010 bukan karena pembalakan liar. Pasalnya, hutan di Wasior masih terawat dengan baik.
"Kita lihat secara langsung hari ini, kalau itu tidak benar. Bahkan seperti sudah ditinjau oleh para pejabat terkait, kita lihat hutan masih ditumbuhi pepohonan," kata Presiden SBY.
Menurut Presiden, jumlah korban dan kerusakan akan lebih parah jika benar terjadi pembalakan liar di Wasior.
"Kita lihat, hutan masih terpelihara dengan baik," ujarnya.
SBY menegaskan, dirinya telah memantau kondisi hutan secara langsung maupun melalui foto udara. Dari pemantauan itu, tidak ditemukan kerusakan hutan. Hal itu sesuai dengan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Presiden membenarkan adanya kayu gelondongan yang hanyut terbawa banjir. Namun demikian, Presiden menegaskan, hal itu tidak serta merta membuktikan adanya pembalakan liar.
"Itu adalah pohon tumbang utuh dengan akar," katanya.
Sebelumnya, sejumlah kalangan memang menuding illegal logging (pembalakan liar) menjadi penyabab banjir di Wasior. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), misalnya. Menurut Walhi, persoalan dasarnya adalah kerusakan hutan di wilayah hulu.
Dalam enam bulan terakhir, sudah terjadi sembilan kali bencana banjir besar yang disebabkan perubahan fungsi hutan menjadi industri baik sawit, kayu mupun pertambangan.
"Namun banjir bandang Wasior adalah yang terparah karena memakan korban jiwa sangat besar," kata Manager Desk Bencana Eksekutif Nasional Walhi Walhi Irhash Ahmady dalam siaran persnya.
Tudingan itu bukannya tanpa dasar. Pantauan jaringan Walhi di lapangan menemukan, ratusan gelondongan kayu disertai lumpur dan batu besar bertebaran di seluruh di Wasior I, Wasior II, Kampung Rado, Kampung Moru, Kampung Maniwak, Kampung Manggurai, Kampung Wondamawi, dan Kampung Wondiboy.
"Ini menambah fakta bahwa memang kerusakan hutan di wilayah hulu menjadi penyebab utama," kata Irhash.
Walhi menduga dua perusahaan yang bertanggung jawab atas perambahan hutan di kawasan Hutan Suaka Alam Gunung Wondiboi. Walhi pun mendesak Pemerintah untuk melakukan evaluasi terhadap kedua perusahaan ini.
Jika terjadi penyalahgunaan Hak Penguasaan Hutan (HPH), perizinan kedua perusahaan ini harus segera dicabut. Pemerintah juga diminta segera melakukan audit lingkungan terkait dengan industri di kawasan hutan Indonesia.
"Ini bentuk kelalaian pemerintah, karena tidak pernah menilai dan melakukan kajian secara serius konsesi industri kehutanan di Indonesia," ujar Irhash.
Advertisement
Bantahan Inkonsisten Pemerintah
Dari pihak pemerintah, meluncur bantahan atas tudingan tersebut. Menteri Kehutanan Zulfikli Hasan mengatakan banjir bandang yang terjadi di Wasior disebabkan tata ruang wilayah tersebut yang kurang memadai.
"Menurut ilmu kehutanan, tata ruang di sini kurang tepat. Karena ini kawasan hutan produksi terbatas, harus hati-hati tinggal di sini. Kalau dibuka sedikit, bisa mempercepat longsor dari atas," ujarnya di Jakarta, Senin 11 Oktober 2010.
Menurut Zulkifli, wilayah tersebut tidak boleh dijadikan daerah permukiman penduduk. Sebab, dapat mengganggu tata ruang dan menyebabkan longsor, apalagi curah hujan juga sangat tinggi. Lebih jauh, Wasior merupakan daerah aliran sungai serta kawasan hutan produksi tetap sehingga tidak ada ijin hak penguasaan hutan untuk menebang kayu.
Ia pun menegaskan musibah tersebut terjadi bukan karena adanya pembalakan liar. Pada masa mendatang, tata ruang yang mengikuti kaidah lingkungan di wilayah itu harus dikelola dengan lebih baik.
Namun, sebelumnya Zulkifli mengatakan, banjir bandang di Wasior terjadi akibat pembalakan liar di kawasan tersebut. Menurut Zulkifli, warga setempat cenderung melakukan eksploitasi berlebihan sehingga berdampak pada kerusakan alam.
"Saya baru ke sana. Itu dampak illegal logging, penebangan tidak terkendali," kata Zulkifli di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Kamis 7 Oktober 2010.
Menanggapi posisi pemerintah, Koordinator Kaukus Papua di Parlemen RI, Paskalis Kossay, menyayangkan Menteri Kehutanan yang terkesan inkonsisten terkait soal penyebab bencana banjir bandang di Wasior.
"Janganlah bersikap mendua dan sengaja melakukan pembohongan publik mengenai penyebab terjadinya bencana Wasior," katanya di Jakarta, Rabu 13 Oktober 2010.
"Sudah jelas bencana itu terjadi karena penurunan daya dukung lingkungan akibat penebangan hutan yang berlangsung lama sejak dekade 1990-an, termasuk adanya indikasi kuat berlangsungnya tindak pembalakan liar," katanya.
Kaukus Papua mengaku bingung oleh pernyataan resmi pemerintah yang agak berbau mau melindungi faktor utama penyebab bencana kemanusiaan ini.
"Lebih ironis lagi, Menteri Kehutanan yang awalnya mengakui bahwa bencana Wasior karena deforestasi hutan, sekarang menyangkal lagi," tanyanya.