Kata Eks Pegawai soal Bendera Mirip HTI di Gedung KPK

Foto bendera mirip Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di dalam Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghebohkan publik.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 04 Okt 2021, 09:48 WIB
Gedung KPK (Liputan6/Fachrur Rozie)

Liputan6.com, Jakarta Foto bendera mirip Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di dalam Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghebohkan publik. Munculnya foto tersebut berbarengan dengan pemecatan 58 pegawai lembaga antirasuah tersebut.

Menurut mantan pegawai KPK Ita Khoiriyah alias Tata, foto mirip bendera HTI itu diambil dan disebar pada 2019 oleh seorang petugas keamanan bernama Iwan Ismail. Iwan merupakan pegawai tidak tetap yang dipekerjakan di bagian pengamanan rumah tahanan (rutan).

Tugas Iwan yakni mengawal tersangka dari rutan KPK untuk menjalani pemeriksaan, persidangan, hingga eksekusi ke lembaga pemasyarakatan (lapas).

Menurut Tata, foto mirip bendera HTI itu dimunculkan pada 2019 saat sedang ramai isu taliban di KPK. Menurutnya, foto tersebut sengaja dimunculkan untuk menyerang kredibilitas KPK. Tata tak menuduh Iwan sengaja melakukannya.

"Padahal saat itu KPK sedang butuh-butuhnya dukungan publik karena menolak revisi UU KPK yang dinilai melemahkan kerja-kerja pemberantasan korupsi. Beredarnya foto tersebut dinilai merugikan citra KPK di mata publik," kata dia dalam keterangannya dikutip Senin (4/10/2021).

Tata merasa aneh Iwan bisa memotret ruangan yang ada bendera tersebut. Pasalnya, tak sembarangan pegawai bisa mengakses ruangan lain, apalagi pekerjaan Iwan hanya petugas pengawal tahanan.

"Sistem pengamanan di KPK memang sangat ketat dan dibatasi. Ada pembagian akses yang ditentukan berdasarkan kewenangan tugas yang dimilikinya. Saat saya masih menjadi bagian Biro Humas KPK, saya hanya bisa mengakses ruangan-ruangan yang bersifat publik dan lingkup kesekjenan. Bahkan saya tidak bisa membuka pintu ruang kerja atasan saya sendiri," kata Tata.

"Ruangan penindakan (tim penyelidik, penyidik, penuntutan, labuksi, monitor) hanya bisa diakses oleh pegawai di lantai itu sendiri," sambungnya.

Tata menyebut foto yang diambil Iwan ada di lantai 10 KPK, yakni ruangan para jaksa penuntut umum. Dengan ketatnya akses di gedung KPK, Tata merasa janggal Iwan bisa sampai di lantai 10. Tata memastikan Iwan tak memiliki akses di lantai 10.

"Lantas dari mana Mas Iwan tahu ada bendera terpasang dan memiliki akses untuk masuk ruangan tersebut? Mas Iwan bilang sedang berkeliling cek ruangan, sedangkan tugasnya sendiri ditempatkan di rumah tahanan," kata dia.

Tata menyebut, akibat viralnya bendera itu, Iwan mengaku diperlakukan seolah-olah seperti tersangka. Menurut dia, mungkin saat itu Iwan tak menyadari bahwa pekerjaan KPK berkaitan dengan hal-hal yang bersifat rahasia.

"Tidak semua ruangan diperbolehkan ambil foto-foto. Yang perlu digaris bawahi adalah bukan karena viralnya foto tersebut Mas Iwan diberhentikan. Tapi karena foto tersebut disebar ke publik tanpa ada klarifikasi, tanpa ada penjelasan dan dalam pemeriksaan Pengawas Internal ditemukan pelanggaran etik, bahkan Mas Iwan sendiri melakukan dengan sengaja framing bahwa bendera tersebut bukti bahwa ada taliban di KPK," kata Tata.

 


Dipecat KPK

Bendera merah putih berkibar setengah tiang di Gedung KPK, Kamis (30/9/2021). Hari ini, 58 pegawai resmi dipecat dari KPK karena tidak lulus TWK. (Liputan6.com/Fachrul Razi)

Pengakuan Iwan tersebut membuat Iwan dipecat dari KPK. Sementara pegawai yang meja kerjanya terdapat bendera tersebut juga sudah diperiksa saat itu. Tata memastikan saat pemeriksaan tak ada perlakukan berbeda antara Iwan dan pegawai pemilik meja.

Pegawai pemilik meja yakni pegawai negeri yang sedang dipekerjakan (PNYD) di KPK. PNYD adalah aparatur sipil negara (ASN) dari kementerian atau lembaga pemerintah lain, polisi, dan jaksa yang dipekerjakan KPK dengan batas waktu maksimal 10 tahun.

"Statusnya sudah ASN dong. Pemilik meja bukan pegawai independen KPK yang proses rekruitmennya dilakukan oleh KPK secara mandiri. Bendera tersebut berada di meja dari seorang jaksa, dan jaksa tersebut bukan bagian dari 57+ yang disingkirkan lewat TWK yang melanggar HAM dan maladministrasi," kata Tata.

Tata menyebut, baik Iwan dan sang jaksa sama-sama diperiksa soal keterkaitan dengan gerakan dan organisasi tertentu. Menurut Tata, dalam pemeriksaan ditemukan keduanya tak memiliki keterkaitan dengan afiliasi tertentu.

Tata menyebut, saat itu Dewan Pertimbangan Pegawai (DPP) menyatakan Iwan terbukti melanggar. Iwan dinyatakan bersalah karena masuk ruang kerja yang bukan ranahnya. Terbukti menyebarluaskan informasi tidak benar, dan menuduh orang terlibat HTI tanpa ada klarifikasi terlebih dahulu.

"Dalam proses persidangan etik, DPP memanggil saksi ahli yang dapat menjelaskan apakah benar bendera tersebut adalah bendera HTI. Saksi ahli yang dipanggil adalah orang yang memiliki pemahaman yang tinggi tentang perbedaan-perbedaan bendera," kata Tata.

"Sehingga DPP dapat mengambil kesimpulan yang objektif dalam sidang etik tersebut. Informasi yang saya dapatkan, saksi ahli yang diundang adalah tim ahli dari Kemenag RI. Pemilihan tersebut tentu mempertimbangkan posisi perwakilan bisa jadi jembatan yg netral untuk masukan para Dewan Pertimbangan Pegawai. Penjelasan saksi ahli menyimpulkan bahwa bendera tersebut bukan bendera HTI," lanjutnya.

 


Menyerang Pihak Tertentu

Menurut Tata, dengan adanya foto putusan etik tersebut menbuktikan isu taliban hanya untuk menyerang pihak tertentu. Tuduhan taliban tidan bisa menjadi pembenaran untuk memecat dirinya dan pegawai lainnya.

Karena dalam pegawai yang dipecat tersebut ada enam orang Nasrani, salah satunya adalah pendiri Oikumene KPK, ada Budhis, hingga Hindu.

"Informasi sampingan yang cukup menarik diketahui, pejabat yang memantau dan memastikan sidang etik ikut disingkirkan lewat TWK. Padahal beliau ini juga menegur pegawai yang mejanya terdapat bendera tersebut," kata Tata.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya