Kesehatan Mental Jadi Masalah Serius di Sepanjang Pandemi COVID-19

Penyebab seseorang mengalami kesehatan mental selama pandemi COVID-19

oleh Aditya Eka Prawira diperbarui 04 Okt 2021, 17:03 WIB
Ilustrasi kesehatan mental (Gambar oleh Total Shape dari Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Psikolog Inez Kristianti MPsi mengingatkan bahwa kesehatan mental sangat memengaruhi produktivitas seseorang dalam bekerja. Masalah mental juga dapat mengganggu kesehatan fisik.

Sejak Maret 2020, semua orang dari seluruh dunia diharuskan berada di rumah dan bila mendesak harus keluar, tidak boleh lupa untuk selalu menerapkan protokol kesehatan COVID-19. Kondisi tersebut secara tak langsung turut memengaruhi kesehatan mental seseorang.

Sebagai mahluk sosial, kata Inez, berbagai pembatasan guna mencegah penularan virus Corona penyebab COVID-19 membuat siapa saja jadi tak nyaman dan merasa tertekan. Hal tersebut terlihat dari status kesehatan mental di Indonesia selama pandemi COVID-19.

"Sebuah studi dari Iskandarsyah A. yang dilakukan April 2020 dengan 3.686 responden dari 33 provinsi di Indonesia menunjukkan bahwa 72 persen partisipan dilaporkan mengalami kecemasan dan 23 persen partisipan dilaporkan merasa tidak bahagia,” kata Inez dalam diskusi yang diadakan Good Doctor Technology Indonesia (GDTI) dan AXA Financial Indonesia.

Lebih lanjut Inez menjelaskan adapun gejala kecemasan yang harus diperhatikan antara lain adanya kekhawatiran bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi, khawatir yang berlebihan, mudah marah dan kesal, serta sulit merasa rileks.

"Sementara itu, gejala depresi yang dilaporkan antara lain masalah tidur, kurangnya kepercayaan diri, kelelahan, dan kehilangan minat," katanya. 


Masalah Kesehatan Mental Selama Pandemi

Selain disebabkan adanya pembatasan sosial bertingkat-tingkat, masalah kesehatan mental yang juga terjadi selama pandemi berasal dari para penyintas COVID-19. 

Dalam kesempatan yang sama, dr Jefri Aloys Gunawan SpPD dari GDTI, mengatakan, COVID-19 adalah penyakit yang memiliki dampak jangka panjang. Ada literatur yang menyebutkan bahwa satu tahun setelah terpapar virus Corona, hampir 50 persen masih merasakan setidaknya satu gejala. Sedangkan gejala dari COVID-19 sendiri bervariasi.

"Gejala yang dialami penyintas COVID-19 setelah 12 bulan atau lebih adalah sesak napas, cemas, depresi, lelah, dan capai. Misalnya, olahraga dengan intensitas rendah yang dilakukan hanya sebentar membuat penyintas merasa lelah. Sementara itu, mereka yang enam bulan telah sembuh dari COVID-19 dan masih merasakan gejala-gejala itu mencapai hampir 70 persen,” katanya.

Kondisi seperti itu dikenal banyak orang dengan Long Covid. Suatu kondisi yang apabila setelah empat minggu sejak mulai merasakan gejala COVID-19 sampai dinyatakan negatif masih timbul gejala sisa. Bisa berupa sesak napas, nyeri sendi, nyeri otot, batuk, diare, kehilangan penciuman, dan pengecapan.

Virus Corona, lanjut Jefri, bahkan menyebabkan aspek kognitif mengalami penurunan. Menurut dia, aspek reasoning (penalaran) dan analisis (pemecahan masalah) merupakan aspek kognitif yang paling terdampak akibat penyakit ini.

"Kognitif terganggu akan memengaruhi kualitas sumber daya manusia suatu bangsa yang ujung-ujungnya pada outcome atau produk domestik bruto (PDB) suatu negara. Performa negara ini terhadap negara-negara lain akan makin tertinggal," katanya.

Sebuah studi yang dipublikasikan di The Lancet pada April 2021 menemukan bahwa sepertiga pasien COVID-19 telah didiagnosis dengan gejala neurologis atau psikologis, termasuk kecemasan, depresi, gangguan stres pascatrauma (PTSD), dan psikosis---dalam enam bulan setelah mereka tertular COVID-19.

"Paling banyak yang datang ke kami adalah yang mengalami gangguan psikosomatis dan kecemasan," ujarnya.

 


Kesehatan Mental Masalah Serius

Psikolog Klinis, CEO & Founder Personal Growth, dan Sahabat Sentra Vaksinasi Serviam, Ratih Ibrahim M.M mengakui bahwa ketakutan, kengerian, paranoid, kecemasan (PTSD) tetap ada sekalipun seorang pasien COVID-19 dinyatakan sembuh. Ratih sendiri merupakan penyintas COVID-19.

“Kesehatan mental perlu diperhatikan apabila seseorang mengalami Long Covid. Apalagi karena mereka akan merasakan frustrasi karena gejala penyakit masih dirasakan walaupun mereka sudah dinyatakan sembuh. Dalam perjalanan untuk sembuh dari Long Covid, para pasien harus mengerti bahwa ini merupakan sebuah proses,” ujar Ratih.

Guna membuat mental penyintas COVID-19 pulih, Ratih pun memberikan tips untuk mengadopsi kebiasaan kesehatan mental yang baik berikut ini:

- lakukan latihan pernapasan secara teratur

- menerapkan pola latihan yang baik

- makan dengan baik

- mengadopsi kebiasaan gaya hidup yang baik

- menerapkan kebiasaan tidur yang baik.

 


Mengatasi Stres

Selain itu, ada berbagai teknik relaksasi untuk membantu mengatasi stres, yaitu Shaking Therapy, Ikigai, Butterfly Hug, dan Guided Imagery. Apabila kecemasan mulai menguasai, cobalah terapkan salah satu teknik relaksasi ini sebagai pertolongan pertama.

Seseorang dengan tingkat stres tinggi dapat mengalami burnout. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), fenomena burnout merupakan sindrom akibat stres kronis yang belum berhasil dikelola setiap individu.

Burnout mengurangi produktivitas dan menguras energi sehingga membuat seseorang merasa tidak berdaya, putus asa, lemah, dan cepat marah. Jika Anda mengalami ini dalam waktu yang lama akan berdampak pada kehidupan sosial terutama pekerjaan, Anda juga rentan terkena penyakit saluran napas atas.

Oleh sebab itu, penyintas maupun bukan tidak perlu ragu untuk segera berkonsultasi dengan ahlinya. Konsultasi akan membantu menemukan akar penyebab stres dan mendapatkan terapi yang tepat. Yang juga dapat dilakukan di platform Good Doctor.


Infografis 4 Tips Jaga Kesehatan Mental Saat Pandemi Covid-19.

Infografis 4 Tips Jaga Kesehatan Mental Saat Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya