Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi memutuskan menolak permohonan uji materil terkait aturan mengenai pencalonan presiden dan wakil presiden yang mempersoalkan 18 pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebagaimana terdaftar dalam Perkara Nomor 44/PPU-XIX/2021.
"Amar putusan mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman dikutip seperti dalam amar putasan, Senin (4/10/2021).
Advertisement
Dalam sidang tersebut, para pemohon yang terdiri dari LSM maupun perseorangan memutuskan menguji 18 pasal di antaranya, Pasal 221, Pasal 222, Pasal 223, Pasal 224, Pasal 225, Pasal 226, Pasal 227, Pasal 228, Pasal 229, Pasal 230, Pasal 231, Pasal 232, Pasal 233, Pasal 234, Pasal 235, Pasal 236, Pasal 237, serta Pasal 238 UU Pemilu.
Dimana pada pertimbangan hukumnya, hakim menguraikan bahwa alasan permohonan, para Pemohon lebih banyak merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-VIII/2009 dibandingkan menguraikan pertentangan norma yang diuji.
"Padahal, masalah utama yang harus diuraikan para Pemohon adalah alasan atau argumentasi hukum mengapa Pasal 223 ayat (1) UU 7/2017 bertentangan dengan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang dijadikan sebagai dasar pengujian," tulis hakim.
Selain ketidakjelasan di atas, di dalam posita permohonannya secara terang benderang para Pemohon mengakui hak untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden adalah hak partai politik. Namun, para Pemohon mempersoalkan mekanisme penentuan calon presiden dan/atau wakil presiden oleh partai politik sebagaimana ditentukan Pasal 223 ayat (1) UU 7/2017.
"Yang menyatakan, Penentuan calon Presiden dan/atau calon Wakil Presiden dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal Partai Politik bersangkutan," ujarnya.
Ketidakjelasan selanjutnya, soal petitum yang tidak lazim terkait kelompok non partai politik yang disebut sebagai rakyat kelompok non partai namun tidak dijelaskan asal-muasal sampai ke petitum demikian, dan pertentangannya dengan norma dalam UUD 1945.
"Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah permohonan para Pemohon a quo adalah kabur atau tidak jelas. Oleh karena itu, Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum para Pemohon dan pokok permohonan," katanya.
Sebelumnya, M. Yunan Lubis selaku kuasa hukum para Pemohon menyatakan ke-18 pasal yang diujikan bertentangan dengan UUD 1945. Menurut para Pemohon, sebagai warga negara pihaknya memiliki hak konstitusi untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum termasuk dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
"Namun pada norma tersebut hak konstitusi untuk dipilih hanya diperuntukkan bagi kelompok partai politik, sedangkan bagi rakyat yang bukan kelompok partai politik tidak terdapat norma yang mengaturnya. Akibatnya, para Pemohon berpotensi kehilangan peluang untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden," jelas Yunan dikutip dari laman MK.
Selain itu, Yunan mengatakan bahwa hak konstitusional warga negara untuk dipilih menjadi presiden dan wakil presiden yang ada pada UU 7/2017 tersebut, hanya memuat hak konstitusi dari sebagian rakyat yang tergabung dalam kelompok partai politik.
Padahal, kata Yunan, MK dalam Putusan Nomor 011-017/PUU-I/2003 dan Nomor 102/PUU-VII/2009 menyatakan setiap rakyat warga negara Indonesia mempunyai hak konstitusi untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Minta Pembatalan UU Pemilu
Untuk itu, dalam petitumnya, Pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan UU Pemilu sepanjang ketentuan mengenai Pengusulan Bakal Calon Presiden Dan Wakil Presiden Dan Penetapan Pasangan Presiden Dan Wakil Presiden.
"Sebagaimana di atur pada BAB VI Pasal 221 sampai dengan Pasal 238," jelasnya.
Pada kesempatan tersebut, Majelis Sidang Panel, Hakim Konstitusi Enny meminta para Pemohon mempelajari permohonan yang pernah diajukan para pihak ke MK sebelumnya. Mengingat permohonan yang diajukan belum ada benang merah permohonannya.
"Ini harus diuraikan hak dipilih dan memilih dari bukan partai politik itu apakah perseorangan atau independen. Sebab, ada banyak putusan MK yang berkait dengan permohononan yang meminta akomodasi calon perseorangan. Bangun argumentasinya terkait dengan nonparpol itu. Bagaimana jika di UU sudah ada ketentuan definitifnya. Di mana letak kerugiannya itu," jelas Enny.
Reporter: Bachtiarudin Alam/Merdeka.com
Advertisement