Liputan6.com, Jakarta Satu keputusan bijak dari CEO Jeff Lawson mampu membawa perusahaan Twilio tumbuh pesat. Hal menarik dari CEO ini adalah dia memilih untuk tidak memecat karyawan ketika pendapatan perusahaan tengah turun.
Sejak Jeff Lawson mendirikan Twilio pada 2008, perusahaan sudah melayani 240 ribu bisnis di seluruh dunia. Penjualan tahunan Twilio mencapai lebih dari USD 2,5 miliar (Rp 35,6 triliun). Klien terbesar perusahaan di antaranya adalah Deliveroo dan Uber.
Advertisement
Melansir dari BBC, Senin (4/10/2021), perusahaan penyedia platform komunikasi cloud tersebut sempat mengalami kemunduran pada 2017. Saat itu, Uber mengumumkan akan memotong pengeluarannya dalam menggunakan layanan Twilio.
"Ini adalah faktor penting bagi investor. Pendapatan dan saham kami mendapatkan pukulan besar. Saya pikir turun sebesar 40 persen dalam satu hari," kata Lawson.
Tidak Menyalahkan Karyawan
Awalnya, Lawson ingin menyalahkan karyawan yang tugasnya membujuk Uber untuk mempertahankan pengeluaran mereka dalam menggunakan layanan Twilio. Namun, ia memilih untuk menjalankan sebuah proses yang disebut sebagai blameless post-mortem.
Proses tersebut mencoba mempelajari kesalahan pada sistem perusahaan, bukan individu yang terlibat. Jadi, kesalahan yang sama di masa mendatang bisa dicegah.
Lawson menjelaskan, "Kami menemukan bahwa masalah sebenarnya adalah kami kekurangan staf penjualan. Akun Uber telah berkembang sangat cepat, tetapi staf penjualan tidak memiliki cukup waktu untuk menangani klien dengan baik.”
Apabila perusahaan memiliki tim penjualan yang lebih besar, mereka akan lebih sering berkomunikasi dengan Uber, serta menyelesaikan masalah yang dihadapi perusahaan teknologi tersebut terhadap layanan Twilio.
Menurutnya, Uber seharusnya memiliki manajer khusus untuk mengontrol seluruh akun-akun tersebut.
Dibandingkan memecat karyawan, Lawson menganggap kejadian ini sebagai tanda untuk menambah staf penjualan. Dengan demikian, tidak ada dari mereka yang kewalahan.
Melalui kejadian tersebut pula Twilio bertumbuh lima kali lipat dan memperkerjakan 5.500 karyawan di seluruh dunia.
Lawson menjadikan blameless post-mortem sebagai kebijakan lanjutan yang harus diterapkan apabila ada kesalahan yang ditemukan di perusahaan.
"Setiap karyawan akan membuat kesalahan. Hal tersebut tidak bisa dihindari. Sebagai pemimpin, kita harus membangun sistem di mana kesalahan tidak menimbulkan bencana. Jika Anda menciptakan sistem di mana satu orang dapat merusak keseluruhan perusahaan, Anda menjadi pemimpin yang bersalah," pesan Lawson.
Reporter: Shania
Advertisement