Liputan6.com, Jakarta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berencana memanggil 27 perusahaan farmasi terkait pencemaran parasetamol di Teluk Jakarta. KLHK akan mendalami pengolahan limbah farmasi di 27 perusahaan tersebut.
Temuan penelitian parasetamol dilakukan oleh peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang bekerja sama dengan peneliti di University of Brighton, Inggris. Dalam penelitian, konsentrasi parasematol tinggi di Teluk Jakarta.
Baca Juga
Advertisement
"Di Jakarta, ada 27 perusahaan farmasi. Rencananya akan kami panggil dan cek bagaimana pengelolaan limbah dan obat-obatan bekas yang sudah kedaluwarsa dan sebagainya," kata Dirjen Pengelolaan Limbah, Sampah, dan Bahan Beracun Berbahaya (PSLB3) KLHK Rosa Vivien Ratnawati dalam Media Briefing Paracetamol di Teluk Jakarta pada Selasa, 5 Oktober 2021.
"Karena, ketika obat itu sudah kedaluwarsa, itu menjadi limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) dan treatment-nya (pengelolaan) harus menjadi limbah B3."
Adapun baku mutu air terkait parasetamol, lanjut Vivien, belum ada standar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Baku mutu adalah batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
Parasetamol Masuk Kategori Emerging Pollutant
Cemaran parasetamol termasuk kategori emerging pollutant atau bahan pencemar baru yang belum memiliki baku mutu. Untuk memasukkan menjadi bahan baku mutu dibutuhkan penelitian secara mendalam.
"Harus ada pemantauan dan penelitian, sehingga kita bisa memasukkan ke dalam policy (kebijakan) baku mutu lingkungan. Peraturan baku mutu berdasarkan kajian lingkungan," jelas Rosa Vivien Ratnawati.
"Nah, emerging pollutant ini masih dikaji. Kalau kita lihat penelitian pencemaran terkait parasetamol di Teluk Jakarta, maka perlu penelitian lanjutan untuk masuk ke policy baku mutu di Indonesia."
Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Sigit Reliantoro menambahkan, emerging pollutant termasuk salah satu unsur polutan yang jumlahnya sangat kecil, sehingga hampir tidak terdeteksi.
"Jadi, sangat tergantung alat deteksi kita. Range-nya (rerata) dihitung dari mikrogram sampai nanogram. Satu nanogram per liter sama dengan 1 mikrogram dalam 1 juta milikubik."
Advertisement
Pengaturan Limbah Farmasi
Bahan baku limbah farmasi, menurut Sigit Reliantoro, di Eropa juga banyak. Pada tahun 2019, ada 3.000 bahan kimia yang berkaitan dengan farmasi.
"Setiap hari jumlahnya bertambah, sehigga kita berkejaran, mana yang diprioritaskan dahulu untuk diatur sebagai kontaminan. Pengaturannya soal bagaimana dampak kesehatan dan di lingkungan dominannya di mana, apakah tanah, sedimen air atau material lingkungan lain," paparnya.
"Cara mengaturnya juga berbeda. Ketika di lingkungan, polutan bereaksi dengan yang senyawa lain apa saja, apakah membentuk persisten. Ini harus dilihat karena ada konsekuensi cara pengelolaannya."
Selanjutnya, toksisitas juga dilihat. Salah satunya, uji prosedur 8 spesies. Yang terpenting terkait seberapa besar kemampuan laboratorium untuk menguji sampai deteksi secara saintifik valid.
Infografis Alur Telemedicine dan Obat Gratis untuk Pasien Isoman Covid-19
Advertisement