Liputan6.com, Jakarta - Perusahaan farmasi, Merck & Co., atau Merck Sharp & Dohme (MSD) mengembangkan obat antivirus COVID-19, molnupiravir. Hasil uji klinis tahap awal menunjukkan pemberian molnupiravir mengurangi keparahan dan kematian pada pasien COVID-19 hingga 50 persen.
Awalnya, molnupiravir dikembangkan untuk obat influenza. Namun, kemudian diuji untuk pasien COVID-19 dengan dosis pemberian 2 kali sehari selama 5 hari yang dikonsumsi secara oral.
Advertisement
Melansir Channel News Asia, molnupiravir diketahui dapat menghambat replikasi SARS-CoV-2 dengan mekanisme yang dikenal sebagai "mutagenesis mematikan". Obat tersebut akan mereproduksi kesalahan pada materi genetik virus, sehingga membuat salinannya menjadi cacat.
Obat itu ditemukan di Emory University di Atlanta kemudikan dikembangkan oleh Kenilworth, Merck & Co., yang berbasis di New Jersey dan Ridgeback Biotherapeutics LP yang berbasis di Miami.
Berikut beberapa fakta soal molnupiravir yang berpotensi jadi obat COVID-19.
Efektivitas Molnupiravir
Perusahaan Merck & Co., pada Jumat, 1 Oktober 2021, mengumumkan bahwa molnupiravir mengurangi risiko rawat inap sekitar 50 persen. Hal ini diketahui erasal dari uji klinis acak dari 775 pasien COVID-19 dewasa. Para partisipan merupakan pasien COVID-19 dengan kondisi ringan hingga sedang dan memiliki penyakit penyerta.
Dari uji klinis tersebut, 7,3 persen pasien yang menerima molnupiravir meninggal atau dirawat di rumah sakit. Jumlah itu jauh lebih sedikit dibandingkan dengan 14,1 persen pasien yang berada dalam kelompok yang mendapatkan plasebo.
Merck & Co, mengatakan molnupiravir juga efektif melawan beberapa varian baru virus corona, termasuk Gamma, Delta, dan Mu.
Advertisement
Pembeda dengan Obat Lain
Keunggulan molnupiravir adalah dapat diminum sebagai pil. Sehingga memungkinkan pasien untuk dirawat di rumah. Hal ini juga memungkinkan harga obat tersebut lebih murah dibanding obat lainnya.
Lalu, molnupiravir bersifat aman, dapat ditoleransi dengan baik dan mudah digunakan karena mereka secara langsung melawan virus. Obat ini membatasi kerusakannya pada tubuh dan durasi penyakit.
Selain itu, hasil analisis sementara tidak menemukan peningkatan insiden efek samping. Hanya 1,3 persen peserta dengan penyakit parah yang memakai molnupiravir berhenti karena efek samping, dibandingkan dengan 3,4 persen pada kelompok plasebo.
Meski demikian, molnupiravir menghadapi sedikit kontroversi pada tahap awal pengembangan. Beberapa peneliti sebelumnya mengemukakan kekhawatiran bahwa mekanisme molnupiravir dapat menyebabkan beberapa masalah yang tidak terduga.
Reporter: Lianna Leticia