Liputan6.com, Jakarta China telah menyembunyikan utang USD 385 miliar atau sekitar Rp 5.480 triliun (estimasi kurs Rp 14.234 per dolar AS) dari Bank Dunia dan IMF. Utang itu telah diberikan kepada negara lain.
Hal itu berdasarkan data lembaga AidData yang berbasis di Amerika Serikat (AS) yang berasal dari the Global Chinese Official Finance Dataset. Laporan itu juga menuding sebagian besar pembiayaan pembangunan China di Pakistan terdiri dari pinjaman mahal.
Adapun laporan AidData ini merinci bagaimana pola pengeluaran, tingkat utang, dan masalah implementasi proyek telah berubah. Laporan ini mengumpulkan data yang mencakup 13.247 proyek di 165 negara senilai USD 843 miliar. Proyek ini dibiayai oleh lebih dari 300 lembaga pemerintah China dan badan milik negara.
Laporan the AidData mengklaim Beijing telah membuat pembiayaan pembangunan luar negerinya tidak transparan.
China disebut secara sistematis melaporkan utangnya ke Sistem Pelaporan Debitur Bank Dunia dengan meminjamkan uang kepada perusahaan swasta di negara berpenghasilan menengah ke bwah dengan memakai kendaraan khusus atau special purpose vehicles (SPV) ketimbang lembaga negara.
Baca Juga
Advertisement
Hal ini mempersulit debitur dan pemberi pinjaman multilateral untuk menilai biaya dan manfaat dari partisipasi dalam Belt and Road Initiative. Ini juga meningkatkan kemungkinan debitur jatuh ke dalam perangkap utang dengan hanya satu cara untuk keluar dengan menjual aset penting secara geopolitik ke China.
Mengutip laporan Nikkei, Rabu (6/10/2021), laporan menyebutkan pengeluaran utang oleh China di bawah the Belt and Road Initiative, 42 negara sekarang memiliki tingkat eksposur utang publik ke China lebih dari 10 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Misalnya proyek kereta api China-Laos yang dibiayai oleh China Exim Bank senilai USD 5,9 miliar atau sekitar Rp 84,02 triliun. Ini setara dengan sepertiga dari PDB Laos yang didanai secara eksklusif utang tersembunyi.
Direktur Eksekutif AidData di College of William and Mary, Bradley C.Parks menuturkan, Bank Dunia dan IMF sudah mengetahui masalah ini. Kepada Nikkei Asia, ia menyampaikan laporan itu telah mengukur skala masalah.
"Kami memperkirakan rata-rata pemerintah tidak melaporkan kewajiban pembayaran actual dan potensialnya ke China dengan jumlah yang setara 5,8 persen dari PDB. Berdasarkan perkiraan individu yang tidak dilaporkan untuk 165 negara,” ujar Parks, yang juga salah satu penulis laporan itu.
Laporan tersebut juga mengungkap hal menarik tentang pembiayaan pembangunan China di Pakistan. Ini termasuk dalam proyek the China-Pakistan Economic Corridor (CPEC) senilai USD 50 miliar atau sekitar Rp 712,23 triliun.
Sesuai laporan itu, pada 2000-2017, China berkomitmen senilai USD 34,3 miliar atau sekitar Rp 488,60 triliun. Sekitar USD 27,8 miliar atau sekitar Rp 396,02 triliun telah menjadi pinjaman komersial dengan konsesi terbatas.
Dari data yang disampaikan AidData, 15 negara yang memiliki utang tersembunyi kepada China termasuk Indonesia. Berdasarkan data AidData, Indonesia mencatat utang kepada China sekitar USD 17,28 miliar atau sekitar Rp 253,85 triliun. Nilai itu sekitar 1,6 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Akan tetapi, ada sejumlah negara yang mencatatkan utang tersembunyi paling besar ke China. Tiga negara yang memiliki utang tersembunyi paling besar ke China antara lain Laos, Maldives, dan Kamboja.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pinjaman China Mahal
Laporan ini juga mengatakan, pinjaman China ke Pakistan mahal dibandingkan dengan pinjaman yang diberikan oleh Organization for Economic Cooperation and Development’s Development Assistance Committee (OECD-DAC) dan kreditur multilateral ke Pakistan.
Rata-rata pinjaman China ke Pakistan memiliki tingkat bunga 3,76 persen, jangka waktu 13,2 tahun dan masa tenggang 4,3 tahun.
“Sebagai perbandingan, pinjaman tipikal dari pemberi pinjaman OECD-DAC seperti Jerman, Prancis, dan Jepang memiliki tingkat bunga 1,1 persen dan jangka waktu pembayaran 28 tahun, jauh lebih murah dari pada yang ditawarkan China kepada Islamabad,” ujar Peneliti Senior AidData, Ammar Malik yang memimpin program Tracking Underrepoted Financial Flows kepada Nikkei.
Meskipun biaya tinggi, negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah seperti Pakistan menerima pinjaman yang ditawarkan oleh China kepada entitas swasta di negara mereka. Para ahli percaya negara-negara ini menerima pinjaman karena tidak muncul dalam neraca mereka.
“Meminjam melalui kendaraan tujuan khusus dan usaha patungan, di bawah pengaturan di luar neraca-menyediakan cara bagi pemerintah berpenghasilan rendah dan menengah untuk fasilitasi pelaksanaan proyek infrastruktur publik besar tanpa menjadi merah dalam hal batas utang,” ujar Parks.
Advertisement
Prioritas ke Proyek Menguntungkan
Sementara laporan AidData didasarkan pada data yang tersedia hingga 2017, para ahli percaya belum ada perubahan besar dalam penetapan harga pinjaman dari lembaga publik di China.
“Bank-bank milik pemerintah China secara konsisten memberikan prioritas pada proyek-proyek yang menguntungkan dan menghasilkan pendapatan. Bank-bank milik China adalah pengganti negara yang optimalkan imbal hasil,” ujar Parks
Meski pun ada rilis laporan ini, pola pembiayaan pembangunan China di Pakistan tidak mungkin berubah.
“Dalam pertemuan 10 th JCC (Joint Cooperation Committee) meeting of OPEC ke-10 pekan lalu, Pakistan memutuskan untuk tidak merundingkan kembali persyratan proyek energi senilai USD 15 miliar yang awalnya dianggap mahal, karena Pakistan membutuhkan keuangan China,” ujar seorang pejabat yang terkait dengan proyek CPEC di Pakistan kepada Nikkei.
Pejabat itu menambahkan, Pakistan akan terus bergantung pada Beijing untuk pembiayaan pembangunan. Bahkan jika persyaratannya tidak lunak karena negara-negara G-7 dan kreditur lainnya tidak terlalu dermawan dalam hal mendukung Pakistan secara finansial.
Profesor Hubungan Internasional di University of Economics Praque, Jeremy Garlick menuturkan, Pakistan kekurangan uang dan mencari investasi selama beberapa dekade. “Pinjaman China agak mahal tetapi Pakistan, secara aktif mencarinya. Bukan China yang memaksakan hal ini di Pakistan,” kata dia kepada Nikkei.