RUU Perpajakan Disahkan, tapi Fraksi PKS Menolak

Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau RUU HPP telah resmi disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna DPR RI

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 07 Okt 2021, 14:40 WIB
Suasana Rapat Paripurna Pelantikan Lodewijk F. Paulus sebagai Wakil Ketua DPR di Ruang Rapat Paripurna, Jakarta, Kamis (30/9/2021). Lodewijk F. Paulus dilantik sebagai Wakil Ketua DPR Bidang Politik dan Keamanan menggantikan Azis Syamsuddin. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau RUU HPP telah resmi disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna DPR RI, Kamis (7/10/2021).

Sebanyak 8 fraksi menyepakati RUU baru perpajakan ini, antara lain PDIP, Golkar, Gerindra Nasdem, PKB, Partai Demokrat, PAN, dan PPP. Namun, pengesahan RUU HPP ini mendapat penolakan dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

"Adapun satu fraksi yaitu fraksi PKS belum menerima hasil kerja panja, dan menolak RUU tentang harmonisasi peraturan perpajakan dan dilanjutkan pada pembicaraan tahap II dalam rapat paripurna DPR RI," kata Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Dolfie OFP, Kamis (7/10/2021).

Dolfie menyampaikan, poin pertama yang belum bisa ditolerir fraksi PKS terkait kenaikan tarif PPN atau pajak pertambahan nilai secara bertahap. Dalam RUU HPP ini, tarif PPN akan naik jadi 11 persen pada 1 April 2022, untuk kemudian naik jadi 12 persen paling lambat per 1 Januari 2025.

"Pertama, fraksi PKS tidak sepakat dengan rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen. Fraksi PKS berpendapat bahwa kenaikan tarif PPN akan kontra produktif dengan proses pemulihan ekonomi nasional," ujar Dolfie.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Selanjutnya

Ilustrasi Foto Pajak (iStockphoto)

Selanjutnya, dia menambahkan, fraksi PKS juga menolak barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan dan dikonsumsi oleh rakyat, jasa kesehatan medis, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan jasa layanan keagamaan menjadi barang/jasa kena pajak.

"Kalau sampai tarif PPN masih 0 persen, namun dengan menjadi BJKP (barang dan jasa kena pajak), barang dan jasa tersebut suatu saat bisa dikenakan pajak," ungkap dia.

Selain itu, Dolfie menyebutkan, PKS secara resmi menolak undang-undang pengampunan pajak, yang bakal digulirkan dalam program tax amnesty jilid II.

"Fraksi PKS menolak pasal-pasal terkait dengan program voluntary asset discosure atau pengungkapan sukarela harta wajib pajak sebagaimana yang dipahami para ahli dan publik sebagai program tax amnesty jilid II," pungkas Dolfie.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya