Liputan6.com, Jakarta Direktur Pasca Sarjana Universitas Yayasan Rumah Sakit Islam Indonesia (YARSI) Prof. Tjandra Yoga Aditama bersama timnya menganalisis data dari 1.457 pasien COVID-19 yang dirawat di Rumah Sakit YARSI sejak awal 2021.
Ia melihat peningkatan kasus dan meninggal yang jelas pada sekitar bulan Juni-Juli 2021. Total pasien meninggal sejak awal tahun selama masa pengamatan ada 149 orang.
Hasil analisis lainnya dari pengamatan tersebut yakni:
-Angka kesakitan meningkat terutama pada bulan Juli 2021.
-Angka kematian naik dua kali lipat.
-Tingkat kematian tertinggi di usia produktif (40-59 tahun).
-Proporsi hasil tes PCR dengan nilai Ct rendah (<21) meningkat di bulan Juni 2021.
Baca Juga
Advertisement
-Angka kesakitan anak meningkat tapi tidak ada yang meninggal.
-Mayoritas pasien meninggal belum divaksinasi dan terlihat tren penurunan risiko kematian pada Lansia.
Tentang Long COVID-19
Pihak YARSI juga berdiskusi terkait status pandemi dan endemi, berbagai aspek vaksin (termasuk pada anak), dan tentang Long COVID-19.
“Khusus terkait Long COVID-19 atau Post COVID-19, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) baru saja kemarin (6 Oktober) mengeluarkan definisi yang melingkupi 4 faktor,” kata Tjandra melalui keterangan tertulis, Kamis (7/10/2021).
Keempat faktor tersebut adalah:
-Kondisi pasca COVID-19 terjadi pada individu dengan riwayat kemungkinan atau terkonfirmasi infeksi SARS-CoV-2.
-Biasanya 3 bulan sejak awal COVID-19 dengan gejala yang berlangsung selama minimal 2 bulan dan tidak dapat dijelaskan dengan diagnosis alternatif.
-Gejala umum termasuk kelelahan, sesak napas, dan disfungsi kognitif lain yang umumnya berdampak pada fungsi sehari-hari.
-Gejala mungkin baru timbul setelah pemulihan awal dari episode COVID-19 akut. Gejala juga dapat berfluktuasi atau kambuh dari waktu ke waktu.
Advertisement
7 Rekomendasi Penanganan COVID-19
Sebelumnya, Tjandra juga menyampaikan 7 rekomendasi Independent Panel for Pandemic Preparedness and Response.
Ketujuh rekomendasi tersebut dibentuk WHO dalam Global COVID-19 Summit untuk menilai pandemi COVID-19.
“Walaupun 7 rekomendasi kali ini diperuntukkan komunitas internasional tetapi esensinya dapat dan perlu pula dipertimbangkan untuk diterapkan di negara kita,” kata Tjandra.
Ketujuh rekomendasi itu adalah:
-Persiapan menghadapi dan respons pada pandemi (pandemic preparedness and response) harus mendapat perhatian utama dari kepemimpinan politik tertinggi.
-Perlu ada penguatan dari kemandirian, otoritas dan anggaran WHO, yang kalau diterapkan di dalam suatu negara maka tentu analogi dengan penanggung jawab program kesehatan di negara itu.
-Dunia (termasuk Indonesia) harus melakukan investasi pada persiapan yang baik untuk mencegah atau mengendalikan terjadinya krisis kesehatan yang mungkin terjadi di masa mendatang.
-Amat diperlukannya sistem informasi baru yang tangguh untuk kegiatan surveilans dan peringatan kewaspadaan, sesuatu yang juga amat perlu ditingkatkan di Indonesia.
-Pembahasan dan persiapan sejak awal untuk jaminan ketersediaan bahan dan alat kesehatan. Untuk di dalam negeri hal ini juga amat diperlukan misalnya agar tidak ada lagi kekurangan oksigen, ventilator, atau obat pada saat kasus sedang meningkat, jadi harus disiapkan sistem penyediaan sejak awal.
-Meningkatkan anggaran dunia untuk persiapan menghadapi dan merespons pandemi mendatang. Tentu dengan kata lain anggaran masing-masing negara juga harus ditingkatkan juga untuk hal ini, termasuk Indonesia.
-Rekomendasi ke tujuh adalah spesifik untuk masing-masing negara, yaitu agar koordinator penanganan pandemi perlu punya jalur langsung ke kepala negara atau kepala pemerintahannya.
Infografis Pemicu dan Strategi Turunkan Angka Kematian Akibat COVID-19
Advertisement