Waspada Lonjakan Inflasi Usai PPN Naik 11 Persen

Dalam Undang-Undang Harmonisasi Pengaturan Perpajakan (UU HPP), Pemerintah akan menaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Okt 2021, 17:00 WIB
Ilustrasi supermarket (iStock)

Liputan6.com, Jakarta Dalam Undang-Undang Harmonisasi Pengaturan Perpajakan (UU HPP), Pemerintah akan menaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen.

Meskipun kenaikannya hanya 1 persen, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), Roy Mandey menilai kenaikan tarif PPN akan berpotensi meningkatkan inflasi karena harga-harga barang naik.

"Adanya potensi inflasi yang membuat harga-harga cenderung naik walau tidak signifikan," kata Roy saat dihubungi merdeka.com, Jakarta, Sabtu (9/10/2021).

Kenaikan harga barang ini berpotensi mengurangi konsumsi masyarakat. Daya beli masyarakat akan terganggu sehingga akan mengurangi pembelanjaan. Akibatnya produktivitas peritel kata Roy akan berkurang lagi.

"Kondisi kedua ini akan mengurangi pembelanjaan di ritel. Mengurangi pembelanjaan ini juga bisa mengurangi produktivitas peritel," ungkapnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, berapapun kenaikan tarif PPN akan berpengaruh pada harga barang yang akan dibeli masyarakat. Sebab kebijakan ini ditujukan kepada masyarakat. Sedangkan dalam hal ini, peritel hanya melakukan penarikan PPN dari masyarakat untuk disetorkan kepada pemerintah.

"Berapapun nilai kenaikan pajak itu pasti akan berpengaruh pada harga, karena nanti yang dikenakan beban itu masyarakat bukan peritel, karena dibayarkan masyarakat," kata dia.

Roy menilai, kenaikan tarif PPN 1 persen kemungkinan tidak akan berpengaruh bagi masyarakat kalangan menengah ke atas. Namun, bagi masyarakat kelas bawah, kenaikan tersebut akan tetap terasa akibatnya.

"Masyarakat status sosialnya menengah atas mungkin enggak terlalu terdampak, tapi kalau status ekonominya menengah ke bawah ini pasti merasakan dan akhirnya mereka akan menahan belanja atau hanya belanja kebutuhan pokoknya," kata dia.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Pasar Tradisional

Pedagang beras menunggu pembeli di Pasar Tebet Timur, Jakarta, Jumat (11/6/2021). Kementerian Keuangan menyatakan kebijakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), termasuk soal penerapannya pada sembilan bahan pokok (sembako), masih menunggu pembahasan lebih lanjut. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Ada kenaikan harga barang di perusahaan ritel membuat masyarakat akan berpindah ke pasar tradisional atau pusat grosir demi mendapatkan harga yang lebih murah. Namun menurut Roy, masyarakat tetap akan dikenakan PPN 11 persen dari barang yang dibeli. Sebab kebijakan tersebut berlaku untuk semua barang tanpa melihat lokasi penjualan produk.

"Ada potensi masyarakat untuk mencari yang lebih murah, tapi tetap saja kena PPN karena ini berlaku ke semua barang karena PPN ini melekat pada barang, jadi kalau di pasar atau grosir PPN-nya tetap naik," kata dia.

Roy menjelaskan, dalam hal pengenaan PPN pada barang terdapat perbedaan cara pengenaan PPN. Di peritel, PPN dikenakan saat barang tersebut dijual ke masyarakat. Sementara PPN barang yang dijual di pasar tradisional maupun grosir dilakukan oleh perusahaan manufaktur atau distributor. Sehingga barang yang dijual pedagang sudah termasuk PPN yang ditambahkan sebelumnya.

"Di grosir atau pasar tradisional itu PPN-nya enggak dipungut sama pedagang tapi sudah dilakukan perusahaan manufaktur atau distributor. Jadi barang yang dibeli pedagang sudah dikenakan PPN sehingga pedagang-pedagang itu tidak perlu lagi memungut PPN," kata dia mengakhiri.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya