Cerita Akhir Pekan: Benarkah Mengurus Sertifikat CHSE Sulit dan Mahal?

Ada anggapan kalau pengurusan sertifikat CHSE agak berbelit dan butuh biaya mahal.

oleh Henry diperbarui 27 Nov 2022, 06:07 WIB
Ilustrasi restoran. Photo by Sandra Seitamaa on Unsplash

Liputan6.com, Jakarta - Pada akhir bulan lalu, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DKI Jakarta menolak rencana kebijakan sertifikasi Cleanliness, Health, Safety, Environment Sustainability (CHSE) bagi pelaku sektor hotel dan restoran. Alasannya, pebisnis bidang itu tengah berupaya bangkit dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19.

Ketua Badan Pimpinan Daerah (BPD) PHRI DKI Jakarta Sutrisno Iwantono menyampaikan pihaknya memahami langkah ini sangat penting sebagai bentuk kepedulian pada konsumen. Namun di satu sisi, upaya tersebut akan sangat memberatkan, terutama pelaku wisata kecil dan menengah.

Ia juga menyebut sertifikasi CHSE masih bersifat marketing gimmick. Dampaknya pun belum signifikan bagi pendapatan pelaku usaha di Jakarta yang telah menerapkan protokol kesehatan itu.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno langsung menanggapi penolakan tersebut. "Kita perlu ngobrol dengan teman-teman PHRI ... karena mereka mitra utama kita," kata Sandiaga dalam Weekly Press Briefing di Jakarta, 27 September 2021.

Ia menegaskan bahwa standar protokol kesehatan yang terangkum dalam CHSE dan diintegrasikan dengan aplikasi PeduliLindungi adalah gold standard. Sandi berharap hal ini bisa dipatuhi secara ketat dan disiplin oleh hotel dan restoran. Namun beberapa hari kemudian, Sandi menegaskan sertifikasi CHSE bukan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif.

"Kita yakinkan bahwa tidak ada arahan sertifikasi CHSE itu mandatori. CHSE itu sifatnya voluntary atau sukarela sesuai dengan inisiatif dari penyelenggara pariwisata dan ekonomi kreatif," kata Sandiaga dalam keterangan resminya, 4 Oktober 2021.  Lalu, benarkah sertifikat CHSE tidak begitu berpengaruh pada usaha parekraf terutama hotel dan restoran? Ada juga anggapan kalau pengurusan sertifikat CHSE agak berbelit dan butuh biaya mahal.

Salah satu vila di Bali, Amarterra Villas Bali Nusa Dua, sudah memiliki sertifikat CHSE. Menurut Sales Manager Amarterra Villas Bali Nusa Dua I Made Pradnyana, pengurusan sertifikat CHSE itu terdiri dari beberapa tahapan tapi tidak butuh waktu lama.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Membantu Membuat Kepercayaan Lebih

Amarterra Villas Bali Nusa Dua. (dok.Instagram @amarterravillasbalinusadua/https://www.instagram.com/p/CNXFf67BHtL/Henry)

"Untuk soal biaya, saya sendiri kurang tau. Yang jelas, dampaknya cukup bagus bagi kita karena mendapatkan kepercayaan lebih dari rekanan, agent ataupun tamu itu sendiri bahwa hotel atau vila kita termasuk aman dan menerapkan protokol dengan baik," kata Made pada Liputan6.com, 7 Oktober 2021.

"Kalau menurut saya pribadi akan lebih baik lagi memang jika semua properti baik hotel, villa, restoran dan juga daerah tujuan wisata lain mendapatkan sertifikat CHSE. Alasan utamanya, itu akan membantu membuat kepercayaan lebih kepada tamu-tamu yang mungkin masih ragu untuk berlibur ke Bali misalnya," lanjutnya.

Syanne Susita selaku Marcomm PT Ono Steak Indonesia juga mengatakan, pengurusan sertifikat CHSE tidak sulit. Restoran steak tersebut berlokasi di Bogor dan Bekasi, Jawa Barat. Syanne mengatakan, caranya cukup dengan mendaftar di laman resmi Kemenparekraf dan menjawab sejumlah pertanyaan. Setelah itu, dalam waktu sekitar seminggu, tim dari Kemenparekraf datang untuk melakukan validasi jawaban yang sudah diberikan. Kalau ada yang dianggap kurang, mereka memberikan masukan.

"Kalau restoran kita yang di Bekasi agak lama sedikit, baru sekitar dua bulan dilakukan validasi setelah kita mendaftar. Tapi akhirnya dapat sertifikat juga, jadi dua restoran kita sudah dapat sertifikat CHSE," terang Syanne pada Liputan6.com, 7 Oktober 2021.

"Yang di Bekasi agak lama prosesnya kemungkinan waktu itu karena ada pergantian pimpinan di Kemenparekraf dari mas Wishnutama ke mas Sandiaga Uno jadi mungkin menunggunya agak lama. Tapi itu perkiraan saya pribadi ya," sambungnya.

Syanne juga menegaskan tidak dipungut bayaran sama sekali saat mengurus sertifikat CHSE. Di sisi lain, ia mengakui, ada atau tidaknya sertifikat tidak begitu mempengaruhi jumlah pengunjung restoran, karena memang tidak ada jaminan jika sudah punya sertifikat CHSE maka pengunjung akan lebih ramai.


Dampak Sertifikat

Restoran Ono Steak. (dok.Instagram @onosteak.id/https://www.instagram.com/p/COfHJMqDGB8/?utm_medium=copy_link/Henry)

"Kalau di tempat kita tidak terlalu berpengaruh, mungkin lain ceritanya dengan di hotel. Di restoran kita, sertifikat cuma kita cetak, dibuatkan pigura dan ditempel dekat meja kasir di tiap restoran. Harapannya tamu jadi bisa tahu," ungkap Syanne.

Ia menambahkan, pengunjung sepertinya lebih perhatian langsung dengan kondisi CHSE dari yang terlihat langsung sehingga mereka bisa merasa nyaman makan di tempat.  "Maksudnya, seperti kebersihan tempat, meja berjarak. Apa pun yang jadi kekhawatiran tamu biasanya disounding langsung ke server atau lewat media sosial atau telepon langsung ke restoran. Tamu tidak tahu kita sudah bersertifikat CHSE atau belum," ujar Syanne.

Beberapa pelaku parekraf, seperti restoran, tak semua memiliki sertifikat CHSE, bahkan ada yang mengaku kurang berminat dan tidak berencana untuk mengurusnya. Salah satunya adalah restoran Bebek Goreng Haji Yogi di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat.

Menurut pemiliknya, Yogi Tjahyono, ia belum berencana untuk mengurus sertifikat tersebut. "Saya tidak punya, dan baru thau juga ada sertifikat CHSE. Jadi ya kita belum ngurus juga. Saya tidak tahu apakah hal itu penting, atau hanya untuk mengurus kebersihan saja," tuturnya pada Liputan6.com, 8 Oktober 2021.

Karena itu, Yogi tidak tahu apakah ada biaya tertentu untuk mengurus sertifikat CHSE. "Kalaupun ada biaya, ini program pemerintah apalagi ya, karena ekonomi kita lagi terpuruk. Di tempat kita misalnya, untuk saat ini, udah Alhamdulillah banget ada orang mau datang dan makan ke tempat kita," ujarnya.

Menurut Yogi, sertifikat tidak terlalu penting dan mendesak, karena kalau untuk kebersihan dan protokol kesehatan, semua itu tergantung pada pemilik atau pengelola dan pelanggan yang bisa menjaga kebersihan."Terkadang kita sudah berusaha untuk bersih pelanggannya yang jorok. Kebetulan culture di Indonesia kebersihan bukan hal yang utama. Padahal kebersihan kan sebagian dari iman," terang Yogi.

Ia mengatakan, pihaknya sudah berusaha untuk melakukan protokol kesehatan dengan baik sehingga pengunjung merasa lebih tenang dan nyaman."Yah Covid ini kita temani saja, karena memang sulit untuk berakhir. Kita fokus saja untuk berusaha membuat pengunjung senang dan mau datang. Kita harus yakin bahwa hidup yang dikasih Tuhan pasti yang terbaik untuk kita," pungkas Yogi.


Mengurangi Beban Pengusaha

Restoran Bebek Goreng Haji Yogi. (dok.Instagram @stayhungry.id/https://www.instagram.com/p/CQgGXPphKcb/Henry)

Sementara itu, pengamat pariwisata Robert Alexander Moningka, pernyataan Sandiaga Uno tentang sertifikat CHSE yang sekarang sifatnya sukarela, bisa dipahami. Menparekraf dinilai ingin merangkul para pelaku parekraf berskala kecil atau UMKM, yang masih memgalami kesulitan di masa pandemi.

"Kalau menurut pengamatan saya, mas menteri mau menampung usulan PHRI Jakarta agar pelaku parekraf tidak diberi beban mengurus sertifikat CHSE teurtama yang termasuk dalam UMKM. Itu supaya mereka fokus lebih dulu pada usahanya dan tidak terbebani dengan urusan lainnya dulu," terang pria yang akrab disapa Bob itu pada Liputan6.com, Sabtu, 9 Oktober 2021.

"Tapi bukan berarti melepas tanggungjawab begitu saja. Mas Sandi mungkin berharap protokol kesehatan tetap dijalankan dengan baik. Setelah usaha mereka mulai berjalan dengan baik, tentunya akan semakin menyadari pentingnya memiliki sertifikat CHSE. Sehingga nantinya mereka akan mengurusnya karena kesadaran sendiri dan setelah melihat respons dari pengunjung, jadi tidak ada kesan paksaan," sambungnya.

Menurut Bob, beberapa hotel yang sudah memiliki sertifikat CHSE justru bisa lebih meyakinkan para calon tamu dan klien mereka, karena bisa lebih memberi jaminan rasa aman. "Sepengetahuan saya dan beberapa teman yang bekerja di hotel, pengurusan sertifikat tidak begitu sulit dan kalau ada sertifikat yang terpampang di hotel mereka justru bisa lebih menambah keyakinan tamu yang ingin datang dan menginap," ungkapnya.


Menjalankan Protokol Kesehatan

Ilustrasi penerapan CHSE di tempat wisata di Bali. (dok. Biro Komunikasi Publik Kemenparekraf)

Bob menambahkan, pada akhirnya pelanggan atau pengunjung akan menilai mana tempat yang memberikan rasa aman terutama dari segi kebersihan dan kesehatan, karena itu jadi faktor utama di masa pandemi ini.

"Jadi pelaku usaha parekraf seperti restoran misalnya, kalau tempatnya tidak menjalankan prokes dengan baik, tentunya pengunjung akan menilai mana tempat makan yang jadi pilihan utama mereka dan mana yang sebaiknya dihindari," ucap Bob. Ia mengakui, sejumlah pemilik tenpat makan yang sudah punya sertifikat CHSE tidak terlalu berdampak pada bertambahnya jumlah pengunjung.

Meski begitu, faktor kebersihan dan prokes tetap harus dijalankan. Ia mencontohkan kasus sebuah restoran di Jakarta Selatan yang ditutup sementara karena tidak mematuhi prokes.

"Saya kurang tahu apa mereka sudah punya sertifikat CHSE atau belum, tapi kalau memang melanggar dan tidak menjalankan prokes dengan benar, tentu harus siap menerima sanksi. Jadi, kalau pemilik usaha sudah memahami itu, mereka menjalakan prokes dengan baik, biasanya timbul kesadaran dari mereka sendiri untuk mengurus sertifikat CHSE," pungkasnya.


5 Tips Liburan Aman Saat Pandemi

Infografis 5 Tips Liburan Aman Saat Pandemi. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya