Liputan6.com, Jakarta - Selain manfaat, dengan semakin beragamnya inovasi keuangan digital dan jenis fintech di Indonesia, maka muncul pula tantangan yang harus diwaspadai baik oleh masyarakat, maupun regulator.
"Keragaman jenis fintech yang ada di Indonesia menunjukkan betapa menarik dan dinamisnya pasar dan inovasi jasa keuangan Indonesia," kata Rektor Universitas Indonesia (UI), Ari Kuncoro.
Baca Juga
Advertisement
Dalam siaran persnya, ditulis Senin (11/10/2021), Ari mengatakan manfaat yang dirasakan dari pesatnya perkembangan inovasi keuangan digital adalah tersedianya ragam layanan keuangan yang bisa menyesuaikan kebutuhan masyarakat.
"Berbagai kalangan yang sebelumnya tidak bankable, kini bisa ikut mengakses layanan keuangan dengan hadirnya berbagai alternatif yang disediakan oleh fintech," ujarnya di webinar "Perkembangan Inovasi Keuangan Digital & Waspada Investasi Ilegal di Indonesia."
Ari mencontohkan, di 2020, saat terjadinya pandemi Covid-19, kehadiran inovasi keuangan digital terbukti menjadi solusi berbagai tantangan yang menyangkut kebutuhan masyarakat akan layanan jasa keuangan.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tantangan dalam Regulasi
Di sisi regulasi, menurut Ari, pengalaman di negara maju juga menunjukkan fintech yang menyatu dengan sisi perbankan membawa dua tantangan baru.
Pertama adalah risiko siber dan kerentanan data nasabah yang membuat masyarakat resah dan berpotensi dirugikan.
"Kedua adalah risiko stabilitas terhadap sistem keuangan mengingat beberapa contoh penerapan fintech, seperti percepatan dan persetujuan pinjaman berpotensi meng-underestimate tingkat risiko calon peminjam," Ari menjelaskan.
Bagi perusahaan fintech yang tidak berafiliasi dengan bank, tantangan yang dihadapinya juga berbeda.
Ari memberikan contoh, yang paling marak di Indonesia adalah penyalahgunaan data nasabah oleh oknum pinjaman online.
Selain itu, penerapan algoritma untuk otomasi peregangan berpotensi menimbulkan perilaku kolektif pasar yang berbahaya seperti penjualan secara masif produk-produk tertentu secara bersamaan yang berpotensi crash di pasar.
Kemunculan mata uang digital berbasis lock chain juga menyebabkan kegamangan baru mengingat alat transaksi yang sah, seyogyanya adalah yang dijamin oleh otoritas yang sah.
Advertisement
Peran OJK
Ari mengatakan, tingkat literasi keuangan masyarakat masih terbilang rendah dan belum merata, hal tersebut menyebabkan berbagai elemen masih rentan menjadi korban penipuan atau investasi ilegal.
Hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) ketiga yang dilakukan OJK pada tahun 2019 menunjukkan bahwa indeks literasi keuangan mencapai 38,03 persen, naik dari 29,7 persen pada tahun 2016.
"Hal ini menunjukkan perbaikan yang signifikan meskipun masih belum dapat dikatakan ideal. Peran OJK menjadi sangat krusial dalam aspek ini," katanya.
Menurut Ari, OJK memiliki tantangan besar untuk tetap mendoorng inovasi keuangan digital dengan tetap mempertimbangkan aspek keamanan, keadilan, dan keterbukaan akses bagi seluruh lapisan masyarakat.
"OJK harus terus menghadirkan inovasi-inovasi kebijakan untuk mengikuti perkembangan teknologi yang terkini dan terbaik di tingkat lokal dan global," pungkasnya.
(Gio/Ysl)
Infografis Pinjol Menjamur, Utang Menumpuk
Advertisement