Pemerintah Diminta Kaji Lagi Aturan Stabilisasi Ayam Hidup dan Telur

BPS mencatat angka konsumsi ayam masyarakat di masa normal sebesar 12,79 kg/kapita/tahun. Konsumsi ayam turun menjadi 9.08 kg/kapita/tahun di masa pandemi Covid-19.

oleh Tira Santia diperbarui 12 Okt 2021, 00:06 WIB
Peternak ayam melakukan unjuk rasa dengan membawa spanduk di depan gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, Senin (11/10/2021). Harga telur ditingkat peternak mencapai Rp 12.500 sampai Rp 13.500 per Kilogram, atau jauh dibawah HPP telur yakni berkisar di harga Rp 21.500 per (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah diminta mengkaji kembali kebijakan stabilisasi harga ayam hidup atau livebird dan telur agar bisa berdampak signifikan terhadap kesejahteraan peternak rakyat.

Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Ali Usman mengatakan kebijakan untuk menekan produksi livebird dimulai dari importasi bibit ayam broiler atau Day Old Chick Final Stock (DOC FS) masih berlebih.

Ini yang masih menyebabkan kelebihan pasokan ayam hidup dibanding permintaan di masyarakat. “Jumlah ayam oversupply sepanjang 2021 merupakan dampak kuota impor ayam GPS pada 2020. Sebab ayam GPS menghasilkan ayam PS (Parent Stock) dan DOC FS. Jadi pemerintah harus cermat menghitung kebutuhan ayam di masyarakat, terutama di masa pandemi Covid-19," kata Ali dalam keterangannya, Senin (12/10/2021).

BPS mencatat angka konsumsi ayam masyarakat di masa normal sebesar 12,79 kg/kapita/tahun. Konsumsi ayam turun menjadi 9.08 kg/kapita/tahun di masa pandemi Covid-19.

Melihat data supply-demand 2021, data Kementerian Pertanian menyebutkan kebutuhan karkas ayam sebanyak 3.129.660 sedangkan produksi ayam karkas 3.507.499 ton (setelah dicutting). Sehingga terdapat surplus 377.839 ton (12,46 persen).

"Artinya setelah dicutting pun masih terjadi oversupply. Seharusnya pemerintah mengurangi jumlah kuota impor GPS sebesar 30 persen ke masing-masing perusahaan, bukan melakukan pemusnahan ayam DOC FS yang berpotensi melanggar animal welfare," kata Ali.

Pataka juga menyebut telur ayam juga terjadi over supply karena beberapa perusahaan perunggasan besar membudidayakan ayam petelur.

Padahal, menurut Permentan 32/2017 pelaku usaha integrasi melakukan budidaya hanya 2 persen sedangkan 98 persen ditujukan untuk peternak rakyat.

 


Penguasaan Bisnis

Senayan, Jakarta, Senin (11/10/2021). Harga telur ditingkat peternak mencapai Rp 12.500 sampai Rp 13.500 per Kilogram, atau jauh dibawah HPP telur yakni berkisar di harga Rp 21.500 per (Liputan6.com/Johan Tallo)

Ali mengatakan saat ini pelaku usaha integrasi menguasai ayam petelur mencapai 15 persen secara nasional.

Pasokan telur berlebih yang menyebabkan harga telur anjlok sejak awal September membuat banyak peternak ayam melakukan afkir dini karena tidak mampu menanggung kerugian yang berkepanjangan.

"Karena itu, supaya ayam broiler tidak terjadi cutting secara terus menerus dan bagaimana menstabilkan harga ayam hidup dan telur hingga akhir tahun 2021. Pemerintah perlu menyerap ayam dan telur dari peternak untuk bantuan sosial masa PPKM. Bansos selain distribusi kepada masyarakat terdampak, bansos daging olahan juga dapat disalurkan kepada siswa tingkat SD, SMP dan SMA yang sekarang sudah mulai masuk tatap muka," katanya.

Menurutnya, hal tersebut mendukung peningkatan konsumsi protein hewani guna meningkatkan imunitas dan kecerdasan di masyarakat. “Upaya stabilisasi harga merupakan tanggung jawab pemerintah, pemerintah harus mengeluarkan ongkos stabilisasi melalui dana APBN,” kata dia.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya