Melihat Prospek Saham Emiten Komoditas di Tengah Krisis Energi

Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas prediksi potensi kenaikan saham emiten komoditas.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 12 Okt 2021, 17:12 WIB
Karyawan mengamati pergerakan harga saham di Profindo Sekuritas Indonesia, Jakarta, Senin (27/7/2020). Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 0,66% atau 33,67 poin ke level 5.116,66 pada perdagangan hari ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah negara antara lain Inggris dan China kekurangan pasokan energi. Mengakibatkan harga komoditas energi global melonjak dan  berbuntut krisis energi.

Saat ini, Indonesia dapat dikatakan sebagai salah satu negara yang mendulang cuan dari kondisi tersebut. Sebagai gambaran, terjadi kenaikan permintaan batu bara yang membawa harganya melambung akhir-akhir ini. Berdasarkan data investing.com, harga batu bara berjangka Newcastle sentuh USD 244,50 per ton.

Kenaikan harga batu bara menguntungkan Indonesia sebagai salah satu negara penghasil sekaligus pengekspor batu bara. Hal itu pun berdampak terhadap indeks sektor saham energi. Secara year to date hingga perdagangan 11 Oktober 2021, indeks sektor saham energi melonjak 35,84 persen.

Analis Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas menilai prospek emiten komoditas masih positif hingga akhir 2021. Secara teknikal, Sukarno mengatakan kenaikan saham emiten komoditas masih berlanjut.

"Prospek emiten komoditas hingga akhir tahun tetap bagus. Ditambah lagi saham-saham sudah sempat koreksi dan dua perdagangan atau candle terakhir menunjukan tren positif," kata dia.

Di tengah penguatan laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 0,41 persen ke posisi 6.486, sejumlah saham energi beragam dan sejumlah saham batu bara melemah pada Selasa, 12 Oktober 2021.

Saham PT Adaro Energy Tbk (ADRO) turun 1,57 persen ke posisi Rp 1.885 per saham. PT Harum Energy Tbk (HRUM) melemah 0,61 persen ke posisi Rp 8.200 per saham. PT Bumi Resources Tbk (BUMI) merosot 1,06 persen ke posisi Rp 93. PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) susut 1,21 persen ke posisi Rp 26.425 per saham.PT Bukit Asam Tbk (PTBA) tergelincir 0,35 persen ke posisi Rp 2.830 per saham.

Sementara itu, saham PT Petrosea Tbk (PTRO) naik 11,51 persen ke posisi Rp 2.810 per saham. Saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) menguat 3,72 persen ke posisi Rp 1.535 per saham. Sedangkan saham PT Medco Energi International Tbk (MEDC) susut 1,57 persen ke posisi Rp 625 per saham.

Untuk saham-saham yang dapat dicermati antara lain PT Adaro Energy Tbk (ADRO), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), PT Indika Energy Tbk (INDY), PT Delta Dunia Makmur Tbk (DOID), dan PT Petrosea Tbk (PTRO).

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


KADIN Ingatkan Tak Terlena Kenaikan Harga Batu Bara

Aktivitas pekerja saat mengolah batu bara di Pelabuham KCN Marunda, Jakarta, Minggu (27/10/2019). Berdasarkan data ICE Newcastle, ekspor batu bara Indonesia menurun drastis 33,24 persen atau mencapai 5,33 juta ton dibandingkan pekan sebelumnya 7,989 ton. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Sebelumnya, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Arsjad Rasjid juga mengingatkan agar pelaku usaha tak terlena dan tetap waspada atas kenaikan harga komoditi, seperti batu bara.

Menurut Arsjad, naiknya harga batu bara salah satunya dipengaruhi sentimen geopolitik China-Australia. Di mana imbasnya adalah China sto membeli batu bara dari Australia. Hal ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk menjadi eksportir bagi negeri tirai bambu itu.

Kita harus waspada karena sekarang melihatnya dalam konteks geopolitik. jaid proses geopolitik yang ada di dunia saat ini bisa merubah. Kalau tiba-tiba China bisa membeli lagi dari Australia misalnya, harga batu bara akan turun. Jadi kewaspadaan tetap harus ada,” kata dia.

Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor Indonesia tumbuh 63,6 persen year on year (yoy) dari perkiraan konsensus tumbuh 36,1 persen per Agustus 2021.

Ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit mencatat pertumbuhan yang kuat. Ekspor CPO tumbuh 70,1 persen yoy mencapai USD 4 miliar atau sekitar Rp 56,92 triliun. Sementara itu, ekspor batu bara tumbuh 53,5 persen yoy. Ekspor batu bara sekitar USD 2,9 miliar atau sekitar Rp 41,26 triliun.

Kontribusi ekspor terbesar lainnya dari besi dan baja tumbuh 9,1 persen yoy menjadi USD 1,7 miliar atau sekitar Rp 24,19 triliun.

“Sekarang kita realize bahwa penopang ekonomi revenuenya adalah komoditas. Ini penting yang harus kita dorong walaupun di sisi lain kita harus memikirkan sustainability ke depan,” sambung Arsjad.


Dampak Kenaikan Harga Komoditas terhadap Investasi dan Inflasi

Aktivitas pekerja saat mengolah batu bara di Pelabuham KCN Marunda, Jakarta, Minggu (27/10/2019). Berdasarkan data ICE Newcastle, ekspor batu bara Indonesia menurun drastis 33,24 persen atau mencapai 5,33 juta ton dibandingkan pekan sebelumnya 7,989 ton. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Krisis energi ini juga menjadi salah satu perhatian dalam laporan PT Ashmore Asset Management Indonesia. Laporan itu menyampaikan sulit untuk mengabaikan lonjakan harga energi termasuk bahan bakar fosil dalam beberapa bulan terakhir.

Dalam filosofi investasi didasarkan pada manajemen aktif yang memungkinkan untuk overweight dalam sektor dengan valuasi yang menarik.

“Sebelum kenaikan harga energi, komoditas batu bara, sawit dan minyak dunia terlalu rendah dalam pandangan kami, dan itu menjadi panggilan solid untuk portofolio saham,” tulis Ashmore.

Namun, kondisi tersebut berpotensi menyebabkan lonjakan inflasi dengan asumsi harga listrik akan naik. Risiko ini kemungkinan akan terjadi pada 2022 dan pengaruhi pasar obligasi ketimbang saham.

“Ini berarti kami merekomendasikan untuk seimbangkan kembali ke aset saham,” tulis perseroan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya