Liputan6.com, Bandung - Peneliti Lingkungan Atmosfer Pusat Riset Sains dan Teknologi Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRSTA-BRIN) Sumaryati meminta agar masyarakat tetap menggunakan masker meski ini dilaporkan kasus paparan pandemi menurun.
Menurut Sumaryati penggunaan masker dengan ketat masih diperlukan, mengingat virus Corona berpotensi menjadi bioaerosol di atmosfer.
"Ketika itu keluar dari tubuh pasien akan berupa droplet kalau butirannya besar, atau menjadi aerosol kalau butirannya kecil kurang dari lima mikron, itu kita nyebutnya aerosol. Karena aerosol itu sifatnya jadi mengikuti sifat aerosol di atmosfer, ya akan tersebar lebih jauh mengikuti arah angin. Namun juga akan mengendap ke permukaan," ujar Sumaryati dicuplik dari kanal You Tube PRTA LAPAN, Bandung, Selasa, 12 Oktober 2021.
Baca Juga
Advertisement
Sumaryati mengatakan COVID-19 yang menjadi aerosol itu akan dipaparkan melalui hembusan angin.
Namun, Sumaryati menerangkan paparan COVID-19 melalui aerosol di udara ini relatif lebih kecil dampaknya dibandingkan dengan paparan antarmanusia.
"Makanya kebijakan lockdown, kebijakan PSBB, sekarang kita PPKM lebih efektif. Meskipun kita tidak menafikan, tidak melalaikan juga faktor aerosol atau kita kenal bioaerosol atau COVID-19 aerosol yang menyebar di udara," kata Sumaryati.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
#sudahdivaksintetap3m #vaksinmelindungikitasemua
Studi COVID-19 Berpotensi Menjadi Bioaerosol
Sumaryati menyarankan penggunaan masker oleh masyarakat harus dilakukan meski berada di luar ruangan dan menjauh dari kerumunan orang.
Masyarakat diimbau konsisten dalam penggunaan masker guna mengantisipasi virus Corona yang melayang - layang di udara.
Pada bulan Mei 2020, Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (PSTA-LAPAN) sebelum berganti nama menjadi BRIN menyatakan COVID-19 berpotensi menjadi bioaerosol di atmosfer. Sehingga penularannya dapat menjangkau jarak lebih jauh dari 2 meter.
Menurut Sumaryati pada waktu itu hal tersebut berdasarkan hasil studi yang menemukan bahwa virus ini terdeposisi di dalam partikel aerosol yang melayang-layang di udara.
Meskipun demikian kata Sumaryati, jangkauan penyebarannya tidak akan terjadi dalam jarak yang sangat jauh seperti puluhan kilometer.
"Hal ini karena siklus hidup virus sebagai bioaerosol hanya sekitar tiga jam. Sifat aerosol yang higrokopis atau dapat menyerap air dapat membuat ukuran virus membesar karena kelembapan di atmosfer yang tinggi," ucap Sumaryati.
Pada malam hari ungkap Sumaryati, saat lapisan atmosfer dalam keadaan stabil, aerosol yang berada di dekat permukaan akan cepat mengendap di atas permukaan tanah yang tidak jauh dari sumbernya.
Sementara itu pada siang hari papar Sumaryati, karena atmosfer cenderung tidak stabil, aerosol cenderung menyebar secara vertikal ke atas dan sulit mengendap.
“Jika ada angin maka dapat tersebar jauh dari sumbernya,” lanjut Sumaryati.
Advertisement
Pentingnya Penggunaan Masker
Di sisi lain Sumaryati menjelaskan, jumlah kasus kejadian yang tinggi di sebagian negara lintang menengah tinggi dan di negara lintang rendah dekat ekuator menunjukkan bahwa kasus COVID-19 memiliki tingkat keacakan yang tinggi, serta tidak ada keterkaitan antara lintang geografis dan sebaran COVID-19.
Meskipun demikian, studi di Brazil menunjukkan temperatur yang tinggi dapat mematikan virus dengan ambang batas sekitar 25 derajat Celcius.
Hasil kajian literatur mengenai bioaerosol COVID-19 tersebut, merekomendasikan bahwa pemutusan mata rantai penyebaran tidak cukup dilakukan dengan menjaga jarak sosial (Physical Distancing) sejauh 2 meter.
Namun diperlukan upaya untuk mengisolasi sumber dan menggunakan alat perlindungan diri berupa masker dan face shield.
"Oleh karena itu, kebijakan karantina wilayah dan PSBB harus terus dilakukan dengan mendasarkan kebijakan pada data sebaran harian COVID-19 yang valid,” tutur Sumaryati. (Arie Nugraha)