Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penerapan pajak karbon merupakan bukti bahwa Indonesia sudah ambil bagian dalam upaya pengendalian perubahan iklim, dan seyogyanya negara lain juga mengambil bagiannya.
“Pengenalan pajak karbon terkait dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada 2030 sebesar 29 persen dengan upaya sendiri (business as usual/BAU) atau hingga 41 persen dengan bantuan internasional dalam Paris Agreement,” kata Menkeu dilansir dari laman resmi Kemenkeu, Rabu (13/10/2021).
Advertisement
Di samping pajak karbon, kata Sri Mulyani, Pemerintah juga telah melakukan berbagai upaya lainnya termasuk penandaan anggaran iklim (climate budget tagging) dalam APBN.
Alokasi anggaran pemerintah hanya mampu membiayai 21,3 persen dari total anggaran yang dibutuhkan sehingga Indonesia masih membutuhkan kerjasama dari internasional dan swasta.
Menurut Menkeu, untuk memastikan negara lain mengambil langkah serupa di Indonesia, kuncinya adalah pajak karbon yang akan menguatkan eksistensi pasar karbon.
“Pasar karbon memastikan bahwa upaya pengendalian perubahan iklim menjadi tidak hanya adil (just) tetapi juga terjangkau (affordable) karena sifatnya memberi insentif bagi swasta untuk berkontribusi pada mitigasi perubahan iklim,” ujarnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Energy Transition Mechanism
Demikian dengan adanya mekanisme ini, negara berkembang diharapkan banyak yang ikut andil. Selain itu, karena intinya adalah karbon, menuju COP26, Indonesia juga mempertimbangkan Energy Transition Mechanism (ETM) untuk mengakselerasi transisi energi dari yang berkarbon tinggi menuju energi yang lebih bersih dan terbarukan.
Sebagai informasi, Pada 7 Oktober 2021, pajak karbon lahir melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan menambah sederetan kebijakan fiskal yang digunakan sebagai instrumen pengendali perubahan iklim.
Advertisement