Menkeu: Krisis Pandemi Jadi Momentum Reformasi Struktural Genjot Daya Saing

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut momentum krisis mendorong Pemerintah untuk melangsungkan reformasi struktural, untuk meningkatkan daya saing Indonesia.

oleh Tira Santia diperbarui 13 Okt 2021, 15:30 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (17/6/2019). Pemerintah bersama Komisi XI DPR RI kembali melakukan pembahasan mengenai asumsi dasar makro dalam RAPBN 2020. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut momentum krisis mendorong Pemerintah untuk melangsungkan reformasi struktural, untuk meningkatkan daya saing Indonesia.

Reformasi struktural dilaksanakan untuk memberi nilai tambah bagi Indonesia yang berbasis sumber daya alam,” kata Menkeu dilansir dari laman resmi Kemenkeu, Rabu (13/10/2021).

Menkeu menjelaskan, salah satu bagian penting dari reformasi struktural adalah reformasi perpajakan melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disepakati bersama DPR pada 7 Oktober 2021.

Reformasi ini dilakukan untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil, memberikan kepastian hukum, serta efisien dari segi biaya kepatuhan maupun administrasi.

“Salah satu aspek yang menjadi terobosan baru dalam UU HPP ini dan mendapatkan perhatian internasional adalah pengenaan Pajak Karbon,” ujarnya.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Penerapan Pajak Karbon

Menteri Keuangan Sri Mulyani

Lebih lanjut Menkeu menegaskan bahwa penerapan pajak karbon merupakan bukti bahwa Indonesia sudah ambil bagian dalam upaya pengendalian perubahan iklim, dan seyogyanya negara lain juga mengambil bagiannya.

“Pengenalan pajak karbon terkait dengan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada 2030 sebesar 29 persen dengan upaya sendiri (business as usual/BAU) atau hingga 41 persen dengan bantuan internasional dalam Paris Agreement,” jelasnya.

Disisi lain,  Pemerintah juga telah melakukan berbagai upaya lainnya termasuk penandaan anggaran iklim (climate budget tagging) dalam APBN. Namun, alokasi anggaran pemerintah hanya mampu membiayai 21,3 persen dari total anggaran yang dibutuhkan, sehingga Indonesia masih membutuhkan kerjasama dari internasional dan swasta.   

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya