Limbah Elektronik Tahun 2021 Capai 57,4 Juta Metrik Ton

Limbah elektronik di seluruh dunia pada tahun 2021 diperkirakan mencapai 57,4 juta metrik ton.

oleh M Hidayat diperbarui 14 Okt 2021, 21:10 WIB
Ilustrasi sampah elektronik. (dok. Unsplash.com/@john_cameron)

Liputan6.com, Jakarta - Limbah elektronik di seluruh dunia pada tahun 2021 diperkirakan mencapai 57,4 juta metrik ton. 

Mengutip rilis pers WEEE Forum via Eurekalert, Kamis (14/10/2021), produksi limbah elektronik global meningkat setiap tahun sebesar 2 metrik ton, atau sekitar 3 hingga 4 persen.

Salah satu sumber masalah ini dikaitkan dengan tingkat konsumsi elektronik yang lebih tinggi--meningkat 3% setiap tahun, siklus hidup produk yang lebih pendek, dan pilihan reparasi yang terbatas.

"Banyak faktor yang berperan dalam membuat sumber daya sektor listrik dan elektronik menjadi efisien dan sirkular," ujar Pascal Leroy, Direktur Jenderal Forum WEEE, organisasi di balik Hari Limbah Elektronik Internasional.

Misalnya, kata Leroy, anggota organisasi WEEE mengumpulkan dan mengamankan daur ulang yang bertanggung jawab atas 2,8 metrik ton limbah elektronik pada 2020.

Namun, menurut dia, ada satu hal yang bersifat sangat sentral. "Selama warga tidak mengembalikan barang bekas, peralatan rusak, menjualnya, atau menyumbangkannya, kita perlu terus menambang semua material baru yang menyebabkan kerusakan lingkungan yang hebat," tutur Leroy.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Data di Eropa dan AS

Sejumlah barang bekas terlihat di tempat pengepulan sampah elektronik, Jakarta, Rabu (7/8/2019). Sepanjang Januari-Juni 2019, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi DKI Jakarta telah memproses lebih dari 1 ton sampah elektronik yang berasal dari rumah tangga dan industri. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Di Eropa, 11 dari 72 barang elektronik di rumah tangga rata-rata tidak lagi digunakan atau rusak. Setiap tahun per warga negara di Eropa, 4 hingga 5 kilogram produk listrik dan elektronik yang tidak terpakai ditimbun terlebih dahulu sebelum akhirnya dibuang.

Melengkapi data itu, sebuah penelitian di Prancis memperkirakan bahwa bobot dari 54 hingga 113 juta unit ponsel setara dengan 10 hingga 20 ton. Ponsel-ponsel ini kebanyakan tersimpan di dalam laci dan ruang penyimpanan lainnya di rumah tangga.

Di AS, di mana banyak ponsel didaur ulang, diperkirakan 151 juta ponsel atau lebih per tahun--sekitar 416.000 ponsel per hari--dibuang ke tempat sampah hingga akhirnya dibakar atau ditimbun.

Di sinilah masalahnya, 40 persen logam berat di tempat pembuangan sampah AS berasal dari sampah elektronik.

Sementara itu, peralatan besar yang dibuang seperti kompor dan lemari es merupakan komponen terbesar dari limbah elektronik. Peralatan-peralatan elektronik berukuran besar itu mengandung baja, tembaga, dan aluminium.

 


Desain Ramah Lingkungan Baru untuk Perangkat Elektronik

Pembuangan Sampah Elektronik di Ghana. Kredit: Flickr/Agbogbloshie Makerspace Platform

Virginijus Sinkevičius, Komisaris Uni Eropa untuk Lingkungan, Kelautan dan Perikanan, menyatakan bahwa limbah elektronik adalah salah satu jenis limbah yang tumbuh paling cepat di Eropa dan di seluruh dunia.

"Untuk mengubah tren ini, kita tidak boleh menganggapnya sebagai limbah, melainkan peluang yang terbuang sia-sia karena produk yang tahan lebih lama akan sangat menghemat tidak hanya bagi konsumen, tetapi juga dalam bahan mentah yang berharga dan emisi CO2," ujar Sinkevičius.

Komisi Uni Eropa untuk Lingkungan, Kelautan dan Perikanan, kata dia, sedang merancang persyaratan desain ramah lingkungan baru untuk perangkat elektronik. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan daya tahan perangkat dan membuatnya lebih mudah diperbaiki.

"Kami juga ingin konsumen memiliki informasi yang lebih baik, sehingga lebih mudah untuk membuat pilihan yang berkelanjutan," tutur Sinkevičius


Bagaimana dengan Sampah Elektronik di Indonesia?

Di Indonesia sendiri timbulan sampah elektronik mencapai 2 juta ton pada tahun 2021. Pulau Jawa berkontribusi hingga 56 persen dari generasi limbah elektronik tahun 2021.

Dalam webinar sampah elektronik yang digelar KLHK dan EwasteRJ, Kamis (14/10/2021), pengelolaan sampah elektronik di Indonesia belum optimal.

Untuk itu diperlukan adanya upaya-upaya yang terintegrasi mulai dari pemerintah, pemerintah daerah, pelaku usaha/industri, produsen maupun masyarakat.

Selain diperkuat dengan peraturan perundang-undangan, maka harus diperkuat juga dengan keterlibatan para produsen dan distributor produk elektronik untuk mengembangkan skema take-back, upaya meningkatkan kesadaran masyarakat serta melibatkan lembaga masyarakat yang peduli dalam mengelola sampah elektronik.

Melalui webinar ini diharapkan adanya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap bahaya dari sampah elektronik, cara penanganan sampah elektronik yang tepat dan ramah lingkungan, pemahaman dan inisiatif pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah elektronik melalui pengembangan TPS 3R dan pusat daur ulang serta pemahaman masyarakat terkait kespesifikan sampah elektronik.

Penanganan sampah elektronik dari rumah tangga di hulu perlu dilanjutkan dengan pengelolaan di hilirnya, di mana selanjutnya sampah elektronik dikelola sebagai limbah B3, sehingga dalam lifecycle-nya dimungkinkan untuk mendapatkan dan memanfaatkan logam berharga yang terdapat dalam sampah elektronik.

Oleh karenanya diperlukan juga komitmen dari sektor swasta yaitu perusahaan penghasil barang elektronik untuk lebih bertanggung jawab dalam pengelolaan sampah elektronik dan pihak swasta dalam megembangkan fasilitas pengelolaan sampah elektronik.


Infografis Timbulan Sampah Sebelum dan Sesudah Pandemi

Infografis Timbulan Sampah Sebelum dan Sesudah Pandemi. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya