2 Cara Pemerintah Pangkas Defisit APBN, Reformasi Perpajakan dan Penajaman Belanja

Untuk diketahui, defisit APBN tahun 2020 tercatat 6,1 persen. Di tahun 2021 diperkirakan defisit APBN akan sekitar 5,7 persen.

oleh Liputan6.com diperbarui 14 Okt 2021, 11:30 WIB
Ilustrasi Anggaran Belanja Negara (APBN)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Wajib menurunkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi  di bawah 3 persen pada 2023. Hal ini untuk mematuhi Undang-Undang No. 2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Covid-19.

Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara mengatakan, terdapat dua cara yang bisa dijalankan pemerintah untuk menurunkan defisit APBN ke angka di bawah 3 persen. Pertama adalah reformasi perpajakan, dan kedua adalah penajaman belanja pemerintah.

Suahasil menjelaskan, salah satu tujuan reformasi pajak adalah peningkatan pendapatan pajak. "Reformasi pajak harus bisa berkualitas sehingga APBN ini bisa sehat, kalau tidak ini bisa menjadi masalah dan muncul hal-hal yang kita tidak inginkan," kata Suahasil dalam Webinar Perpajakan di Era Digital: Menelaah UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Jakarta, Kamis (14/10/2021).

Untuk diketahui, defisit APBN tahun 2020 tercatat 6,1 persen. Di tahun 2021 diperkirakan defisit APBN akan sekitar 5,7 persen. Sementara itu, di tahun 2022 defisit APBN direncanakan 4,85 persen.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Landasan Reformasi Pajak

Ilustrasi APBN. Dok Kemenkeu

Pemerintah memiliki alasan khusus sebelum memutuskan melakukan reformasi pajak. Salah satunya kondisi keuangan masyarakat yang sudah berubah dalam waktu 20 tahun terakhir.

Di awal tahun 2000-an, kondisi ekonomi masyarakat didominasi kelompok miskin dan rentan hingga 51,8 persen. Lalu kelompok menengah 41 persen sedangkan kelompok atas hanya sekitar 7 persen.

Selama hampir 20 tahun, kondisi ekonomi masyarakat pun berubah. Pada tahun 2018 tercatat kelompok miskin dan rentan mengalami penurunan drastis yang menyisakan 30 persen. Kelompok menengah naik menjadi 47 persen dan kelompok kelas atas naik menjadi 22,5 persen.

"Ini hampir 70 persen kelompok middle class dan upper class ini," kata dia.

Suahasil menilai pertumbuhan dua kelompok ini akan terus tumbuh. Tercermin dari tingkat konsumsi masyarakat yang terus meningkat, hingga 56 persen.

"Konsumsi penduduk kelas menangah tumbuh luar biasa tinggi, makanya konsumsi ini bisa sampai 56 persen. Ini kelompok kelas menengah ini kerjanya konsumsi," kata dia.

Tingginya konsumsi masyarakat ini membuat aspirasi juga meningkat. Kebutuhan masyarakat kelas menengah terhadap infrastruktur, pendidikan dan lainnya dituntut lebih baik.

"Aspirasi kelompok menengah ini banyak sekali, aspirasi tersebut harus dibiayai dan perlu dibelanjakan dari APBN," kata dia.

Untuk itu pemerintah memerlukan biaya dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat. Sehingga dibutuhkan penerimaan yang lebih agar berbagai aspirasi bisa terpenuhi,

"Makanya ini APBN harus punya penerimaan yang baik, dibangun dengan sistem perpajakan yang adil sehat , atraktif dan akuntabel," kata dia.

Reporter: Anisyah Al Faqir

Sumber: Merdeka.com

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya