Menyigi Dampak Lingkungan Pembangunan Kereta Cepat Jakarta - Bandung

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat menyerukan penuntasan masalah dampak lingkungan dan sosial ketimbang mengurus masalah pendanaan proyek.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 15 Okt 2021, 04:00 WIB
Proyek pembangunan kereta cepat yang sedang dalam tahap pengerjaan di kawasan Padalarang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (25/9/2021). Kereta cepat Jakarta-Bandung ditargetkan beroperasi pada akhir tahun 2022 dan akan dilakukan uji coba pada November 2022 mendatang. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Bandung - Menyikapi intervensi pemerintah Indonesia terhadap proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat menyerukan penuntasan masalah dampak lingkungan dan sosial ketimbang mengurus masalah pendanaan proyek.

Alih-alih menyelamatkan rakyat, Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Meiki W Paendong menyebut pemerintah pusat sibuk menyelamatkan kereta cepat. Pemerintah didesak untuk serius memperhatikan nasib rakyat yang menderita akibat proyek tersebut.

"Termasuk menuntut PT KCIC untuk melaksanakan tanggung jawabnya dan patuh menghormati hak asasi warga terkena dampak proyek dalam kerangka bisnis dan HAM," kata Meiki melalui keterangan tertulis, Kamis (14/10/2021).

Secara khusus, Walhi Jawa Barat mendorong penyelesaian masalah kerusakan lingkungan dan sosial yang dialami 133 kepala keluarga warga Komplek Tipar Silih Asih, Kabupaten Bandung Barat yang tak kunjung ada titik terang sejak dua tahun yang lalu.

Akibat pembangunan terowongan 11 yang menggunakan metode peledakan pada Oktober 2019, puluhan rumah rusak berat hingga ringan. Yang lebih parah lagi telah terjadi retakan tanah memanjang di area kompleks berdasarkan hasil kajian Badan Geologi.

Selain itu, menjadi kekhawatiran warga saat turun hujan, air akan masuk ke dalam retakan tanah dan berpotensi pada bencana longsor. Adapun upaya mekanisme keluhan dan permohonan bantuan kepada pemerintah pusat sudah dilakukan warga. Mulai dari tingkat desa, kabupaten, provinsi, dinas terkait, hingga KLHK. Namun, tetap tidak ada tindak lanjut sampai saat ini.

Walhi Jawa Barat juga mencatat masalah rusaknya belasan hektar sawah dan saluran irigasi di Desa Depok, Kabupaten Purwakarta. Sejak Agustus 2019, sawah milik 16 warga tersebut dijadikan area disposal atau pembuangan tanah kupasan proyek jalur kereta cepat. Akibatnya sawah yang tadinya produktif tidak lagi memberikan hasil hingga sekarang.

Kondisi warga yang bergantung pada lahan sawah itu menjadi lebih miris di saat dampak pandemi Covid-19 melanda. Jika sawah dan irigasi mereka tidak ditimbun, tentu ketahanan pangan mereka terjamin karena dapat bertahan hidup dengan menanam padi.

Meiki mengatakan, Walhi Jawa Barat mencatat ada 23 kasus terkait langsung dengan proyek kereta cepat. Dari jumlah tersebut merupakan kasus perizinan, lingkungan, sosial, hingga kecelakaan kerja.

Namun, persoalan lingkungan, sosial, dan HAM menjadi aspek yang paling diabaikan. Baik oleh pihak PT KCIC dan juga pemerintah Indonesia sebagai pemberi proyek.

"Terbukti dengan tidak adanya niat baik penuntasan masalah hingga saat ini," ujar Meiki.

 

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini


Tindak Tegas Pelanggar Lingkungan

Pekerja beraktivitas menyelesaikan proyek pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) di kawasan Halim, Makasar, Jakarta, Rabu (2/6/2021). Stasiun Halim akan menjadi stasiun keberangkatan sekaligus kedatangan KCJB dan berakhir di Stasiun Tegalluar Bandung. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Lebih jauh Meiki mengatakan, pemerintah Indonesia hanya fokus pada permasalahan bengkaknya anggaran dan percepatan proyek agar bisa segera beroperasi. Di sisi lain rakyat terdampak proyek yang terancam hidupnya tidak dipedulikan.

Meiki menyebutkan, proyek kereta cepat merupakan pintu masuk proyek properti skala besar lainnya. Perampasan ruang hidup rakyat, pemindahan paksa, dan alih fungsi lahan skala besar kelak dipastikan terjadi.

"Ke depannya akan ada 4 stasiun transit oriented development (TOD). Keempat TOD berada di Halim, Karawang, Walini, dan Tegalluar. Artinya tidak hanya pembangunan stasiun, tapi diarahkan juga pengembangan kawasan terbangun baru," tuturnya.

Saat ini, lanjut Meiki, yang sudah tampak adalah TOD Walini berada di kawasan milik rakyat dan perkebunan PTPN VIII. Sedangkan, TOD Tegalluar berada di kawasan pertanian padi produktif milik rakyat.

Meiki mengatakan, keberadaan kereta cepat dan TOD merupakan bentuk layanan pemerintah Indonesia pada kelompok oligarki properti dan kaum kaya. Dengan begitu, sebenarnya pemerintah malah membuka lebar jurang pemisah strata sosial di masyarakat.

Kesenjangan sosial kelas miskin dan kaya pun akan semakin parah. Oleh karena itu, Walhi Jawa Barat kembali menuntut pemerintah Indonesia lebih mengutamakan keselamatan rakyat dan perlindungan lingkungan hidup.

"Tindak tegas pelanggar lingkungan dan HAM yang terjadi di proyek kereta cepat," tutup Meiki.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya