Soal Net Zero Emission, Pengamat Nilai Pemerintah Jangan Terburu-Buru

Pemerintah sudah mempunyai blue print energi nasional dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca.

oleh Tira Santia diperbarui 14 Okt 2021, 19:40 WIB
Pekerja memeriksa intalasi panel surya di Gedung Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM di Jalan Rasuna Said, Jakarta, Senin (27/9/2021). Kementerian Perindustrian mencatat importasi komponen PLTS sejak 2018 hingga 2020 mengalami penurunan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Energi Watch Mamit Setiawan menyambut baik rencana pemerintah mewujudkan komitmen net zero emission atau nol emisi pada 2060 atau lebih cepat.

Menurutnya, pemerintah sudah mempunyai blue print energi nasional dalam rangka mengurangi emisi gas rumah kaca. Pemerintah juga berusaha menunjukan komitmennya dalam Paris Aggrement.

"Hanya saja saya melihatnya kita harus tetap realistis dengan kondisi yang saat ini kita miliki. Bahwa transisi energi itu keniscayaan, pasti terjadi tetapi jangan juga memberatkan masyarakat dan pemerintah mengingat sampai saat ini energi yang dihasilkan EBT masih mahal jika dibandingkan dengan energi fosil," kata Mamit kepada Liputan6.com, Kamis (14/10/2021).

Selain itu, kata Mamit, sampai saat ini energi yang di hasilkan Energi Baru Terbarukan (EBT) bersifat intermiten dan membutuhkan cadangan dari energi fosil.

"Jika pemerintah menghilangkan mobil dari bensin dan diesel pertanyaannya adalah infrastruktur kita sudah siap baik itu infrastruktur kelistrikan dari EBT maupun infrastruktur jalan," ujarnya.

Selain itu, Mamit juga mempertanyakan, apakah ke depannya harga mobil listrik sudah terjangkau, mengingat saat ini harga mobil listrik masih mahal sekali. Sehingga membutuh dukungan fiskal dari pemerintah agar harga bisa terjangkau.

Di sisi lain yang perlu menjadi perhatian adalah apakah desainnya sudah cocok dengan karakter mobil masyarakat Indonesia yang muat banyak penumpang.

Sebab saat ini Indonesia juga sedang menggenjot program kilang RDMP dan GRR yang menurutnya masih akan beroperasi sampai 2050, yang akan datang sehingga mobil fosil masih di butuhkan.

"Menurut saya, kita tidak perlu terburu-buru dan serta merta mengikuti tren yang ada. Kita harus menyesuaikan dengan kondisi dari negara dan juga masyarakat," pungkasnya.

 


Indonesia Tak Lagi Jual Mobil dan Motor Berbahan Bakar Fosil di 2040

Pekerja memeriksa intalasi panel surya di Gedung Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM di Jalan Rasuna Said, Jakarta, Senin (27/9/2021). Kementerian Perindustrian mencatat importasi komponen PLTS sejak 2018 hingga 2020 mengalami penurunan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Pemerintah menargetkan Indonesia bisa mencapai net zero emission (NZE) pada 2060. Untuk mencapai target tersebut, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah menyiapkan peta jalan dengan salah satu program tidak menjual motor dan mobil dengan bahan bakar fosil atau BBM. 

Menteri ESDM Arifin Tasrif menjelaskan, pemerintah tengah menyusun peta jalan (roadmap) demi menghadapi berbagai tantangan serta risiko perubahan iklim di masa mendatang.

"Transformasi menuju net zero emission menjadi komitmen bersama kita paling lambat 2060," jelas Arifin dikutip dari keterangan tertulis, Kamis (14/10/2021). 

Dalam mencapai target nol emisi, pemerintah tengah menerapkan lima prinsip utama, yaitu peningkatan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), pengurangan energi fosil, kendaraan listrik di sektor transportasi, peningkatan pemanfaatan listrik pada rumah tangga dan industri, dan pemanfaatan Carbon Capture and Storage (CCS).

"Kami telah menyiapkan peta jalan transisi menuju energi netral mulai tahun 2021 sampai 2060 dengan beberapa startegi kunci," jelas Arifin.


Tahapan

Pekerja memeriksa intalasi panel surya di Gedung Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM di Jalan Rasuna Said, Jakarta, Senin (27/9/2021). Kementerian Perindustrian mencatat importasi komponen PLTS sejak 2018 hingga 2020 mengalami penurunan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Arifin pun menguraikan tahapan pemerintah menuju capaian target nol emisi. Di 2021, pemerintah akan mengeluarkan regulasi dalam bentuk Peraturan Presiden terkait EBT dan retirement coal.

"Tidak ada tambahan PLTU baru kecuali yang sudah berkontrak maupun sudah dalam tahap konstruksi," urainya.

Di 2022 akan adanya Undang-Undang EBT dan penggunaan kompor listrik untuk 2 juta rumah tangga per tahun. Selanjutnya, pembangunan interkoneksi, jaringan listrik pintar (smart grid) dan smart meter akan hadir di 2024 dan bauran EBT mencapai 23 persen yang didominasi PLTS di tahun 2025.

Pada 2027, pemerintah akan memberhentikan impor LNG dan 42 persen EBT didominasi dari PLTS di 2030 dimana jaringan gas menyentuh 10 juta rumah tangga, kendaraan listrik sebanyak 2 juta (mobil) dan 13 juta (motor), penyaluran BBG 300 ribu, pemanfaatan Dymethil Ether dengan penggunaan listrik sebesar 1.548 kWh per kapita.

Semua PLTU tahap pertama subcritical akan mengalami pensiun dini di 2031 dan sudah adanya interkoneksi antar pulau mulai COD di tahun 2035 dengan konsumsi listrik sebesar 2.085 kWh per kapita dan bauran EBT mencapai 57 persen dengan didominasi PLTS, Hydro dan Panas Bumi.

Di 2040, bauran EBT sudah mencapai 71 persen dan tidak ada PLT Diesel yang beroperasi, Lampu LED 70 persen, tidak ada penjualan motor konvensional, dan konsumsi listrik mencapai 2.847 kWh per kapita. 

Lima tahun berikutnya, pemerintah mewacanakan akan ada pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) pertama mulai COD.

"Kita juga mempertimbangkan penggunaan energi nuklir yang direncanakan dimulai tahun 2045 dengan kapasitas 35 GW sampai dengan 2060," harap Arifin.

Selanjutnya, bauran EBT diharapkan sudah mencapau 87 persen di 2050 dibarengi dengan tidak melakukan penjualan mobil konvensional dan konsumsi listrik 4.299 kWh per kapita.

Terakhir, pada 2060 bauran EBT telah mencapai 100 persen yang didominasi PLTS dan Hydro serta dibarengi dengan penyaluran jaringan gas sebanyak 23 juta sambungan rumah tangga, kompor listrik 52 juta rumah tangga, penggunaan kendaraan listrik, dan konsumsi listrik menyentuh angka 5.308 kWh persen kapita.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya