Pengeras Suara Azan di Jakarta Disorot Media Asing, Sebut Ketakwaan Atau Kebisingan?

Melalui artikel bertajuk Piety or noise nuisance? Indonesia tackles call to prayer volume backlash, media asing AFP menyoroti kerasnya suara azan di Jakarta.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 15 Okt 2021, 14:23 WIB
Ilustrasi masjid | pexels.com/@davidmceachan

Liputan6.com, Jakarta Kumandang azan melalui pengeras suara masjid di ibu kota Jakarta, Indonesia menjadi sorotan media asing AFP. Melalui artikel bertajuk 'Piety or noise nuisance? Indonesia tackles call to prayer volume backlash', outlet berita internasional yang bermarkas di Paris itu memuat dampak kesehatan seorang muslimah akibat terlalu kerasnya suara azan.

Tulisan yang dikutip pada Jumat (15/10/2021) itu, mempertanyakan reaksi Indonesia mengatasi keluhan terlalu kerasnya volume pengeras suara masjid apakah terkait ketakwaan atau kebisingan, yang dikeluhkan seorang bernama Rina karena mengalami gangguan kecemasan (anxiety disorder).

Rina disebutkan merasa terganggu akibat suara azan dari pengeras suara di dekat rumahnya. Setiap dini hari pada pukul 03.00 pagi, Rina tersentak bangun dari tidurnya karena pengeras suara azan yang begitu kencang sehingga dia mengalami gangguan kecemasan: dia tidak bisa tidur, dia terlalu mual untuk makan -- tapi dia juga terlalu takut untuk mengeluh karena melakukan hal itu bisa membuatnya dipenjara atau diserang.

Suara azan begitu sakral di Indonesia, negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, sehingga mengkritiknya dapat berujung pada tuduhan penistaan, kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara. "Tidak ada yang berani mengeluh tentang hal itu di sini," kata Rina, seorang Muslimah berusia 31 tahun yang menggunakan nama samaran.

"Pengeras suara tidak hanya digunakan untuk azan, tetapi mereka juga menggunakannya untuk membangunkan orang 30-40 menit sebelum waktu salat subuh," katanya kepada AFP, seraya menambahkan bahwa dia berada pada titik puncaknya setelah menahan kebisingan selama enam bulan.

Keluhan online tentang pengeras suara yang bising meningkat, tetapi kurangnya anonimitas dan ketakutan akan serangan balasan berarti tidak ada statistik resmi yang dapat diandalkan.

Menyadari perselisihan yang berkembang, Dewan Masjid Indonesia (DMI) mengerahkan tim untuk menangani sistem suara masjid di seluruh negeri -- tetapi ini adalah masalah yang rumit.

Kepulauan Asia Tenggara pernah dipuji karena toleransi beragamanya dengan orang-orang dari banyak agama yang hidup berdampingan satu sama lain, tetapi ada kekhawatiran bahwa Islam moderatnya akan terancam oleh kelompok garis keras.

Pada 2018, seorang wanita Buddha dipenjara setelah mengeluhkan terlalu kerasnya suara azan, dan awal tahun ini aktris dan influencer Zaskia Mecca, yang memiliki 19 juta pengikut di Instagram, dikecam secara online setelah Muslimah berhijab itu mengkritik suara orang membangunkan sahur dari masjid selama bulan suci Ramadan.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Simbol Kebesaran

Ilustrasi Masjid (Istimewa)

Di seluruh dunia Islam, azan dan khotbah melalui pengeras suara eksternal dianggap sebagai pilar utama identitas Muslim, tetapi masalah ini sangat memecah belah.

Pada bulan Juni, pihak berwenang di Arab Saudi memerintahkan masjid untuk membatasi volume pengeras suara eksternal mereka hingga sepertiga dari kapasitas maksimum mereka, dengan alasan kekhawatiran akan polusi suara. Hal itu juga menuai reaksi langsung di sana.

Ada sekitar 750.000 masjid di seluruh Indonesia -- sebuah tempat berukuran sedang dapat memiliki setidaknya selusin pengeras suara eksternal yang mengumandangkan azan lima kali sehari.

Bagi Rina, suara azan saat malam hari menjadi gangguan dan memengaruhi kesehatannya.

"Saya mulai mengalami insomnia, dan saya didiagnosa mengalami gangguan kecemasan karena selalu terbangun. Sekarang saya berusaha membuat diri saya lelah mungkin, sehingga saya bisa tidur di tengah kebisingan," jelasnya.

Ketua Dewan Masjid Indonesia Jusuf Kalla memperkirakan sekitar separuh masjid di Indonesia memiliki akustik yang buruk, yang memperburuk masalah kebisingan.

"Ada kecenderungan untuk menyetel volume tinggi agar azan dapat didengar oleh jemaah sebanyak mungkin dari jarak jauh karena mereka menganggapnya sebagai simbol keagungan dalam Islam," jelas koordinator program akustik DMI, Azis Muslim.

Organisasi tersebut berjuang untuk meminimalkan ketegangan masyarakat dengan layanan gratis dari pintu ke pintu untuk memperbaiki sistem suara dan menawarkan pelatihan - sekitar 7.000 teknisi bekerja pada proyek tersebut dan telah memperbaiki audio di lebih dari 70.000 masjid.

Meski program tersebut tidak wajib, Ketua Masjid Al-Ihkwan Jakarta Ahmad Taufik memanfaatkannya karena ingin memastikan keharmonisan sosial.

"Suaranya sekarang lebih lembut. Dengan begitu tidak akan mengganggu orang-orang di sekitar, apalagi kami memiliki rumah sakit di belakang masjid," katanya.

 


Melaporkannya Membawa Bencana

Ilustrasi Masjid Credit: pexels.com/David

Tapi perihal azan yang dikumandangkan melalui pengeras suara sejatinya sudah lama menjadi masalah kontroversial.

Wakil Presiden Boediono kala itu, yang seperti kebanyakan orang Indonesia menggunakan satu nama, menghadapi kecaman ketika dia menyarankan volume azan dibatasi pada tahun 2012.

Lima tahun lalu, ratusan pengunjuk rasa membakar hampir selusin candi Buddha di Tanjung Balai Sumatera Utara setelah Meiliana, yang merupakan keturunan Tionghoa dan juga memiliki satu nama, mengkritik kerasnya azan.

Ibu empat anak itu dipenjara selama 18 bulan pada 2018.

Baru-baru ini pada bulan Mei tahun ini, massa yang marah berbaris ke sebuah kompleks perumahan mewah di dekat Jakarta setelah seorang warga meminta pengeras suara masjid setempat dijauhkan dari rumahnya.

Polisi dan militer terpaksa turun tangan, dan pria itu secara terbuka meminta maaf melalui media sosial untuk memadamkan kemarahan.

Orang Indonesia sering bereaksi marah terhadap keluhan seperti itu karena mereka salah percaya pengumuman pengeras suara sebagai persyaratan agama ketimbang ekspresi budaya, kata Ali Munhanif dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah di Jakarta.

"Inilah yang terjadi ketika kemajuan teknologi bertemu dengan ekspresi keagamaan yang berlebihan. Jika azan dibiarkan tidak diatur atau tidak diatur maka bisa mengganggu kerukunan sosial," tambahnya.

Rina pun akhirnya memutuskan bersikeras dia tidak akan mengadu.

"Kasus (ibu yang dipenjara) menunjukkan kepada kita bahwa melaporkannya tidak akan membawa apa-apa selain bencana," seraya bersikeras, menambahkan: "Saya tidak punya pilihan selain hidup dengan itu. Atau menjual rumah saya."


Infografis Protes Pengeras Suara Azan Berujung Bui

Infografis Protes Pengeras Suara Azan Berujung Bui. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya