Kisah Netha Ajak Para Ibu dan Anak NTT Bangkitkan Napas Bertani dari Pekarangan Rumah

Netha Kora Bangngu menyadari bahwa para ibu dan anak menjadi kunci agar pertanian lebih lestari di masa depan.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Okt 2021, 12:01 WIB
Ilustrasi berkebun di rumah. (dok. Markus Spiske/Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Netha Kore Bangngu, perempuan asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), berkesempatan berbagi cerita di puncak penganugerahan Kalpataru 2021. Dalam momen itu, penggerak komunitas Kupang Batanam tersebut mengungkapkan jatuh bangun menggerakkan kembali denyut pertanian pada anak-anak muda di kampung halamannya.

"Kebetulan latar belakang keluarga saya bertani, berbicara tentang pertanian, pertanian tidak menjadi hal yang asing buat saya," ujar Netha, Kamis, 15 Oktober 2021.

Ia pun membuat komunitas yang berisi anak-anak muda untuk membangkitkan pertanian dan memperkenalkan kebiasaan berkebun di halaman rumah warga. Komunitas itu dinamainya Komunitas Penyuluhan Pertanian Sukses (Kompas).

Pendirian Kompas ini menjadi langkah awal bagi Netha untuk memberi penyuluhan terkait teknologi dan informasi terbaru di bidang pertanian bagi para petani. Pengetahuan yang dibagikannya didapat dari pengalaman keluarga dan ilmu yang didapat selama menjalani kuliah program studi pertanian lahan kering.

Selanjutnya, Netha dan beberapa temannya mendirikan Komunitas Kupang Batanam pada 2017. Ia pun giat mengampanyekan cara berkebun di pekarangan rumah." Kami mulai dari yang skala kecil," tutur Netha.

Ia mendekati warga dari tingkat RT dan komunitas-komunitas kecil, terutama kepada ibu-ibu dan anak-anak. Lama kelamaan, komunitasnya dikenal oleh berbagai lembaga dan mulai diundang oleh puskesmas, kelurahan, dan gereja.

"Kalau ada kegiatan-kegiatan di gereja, mereka akan mengundang kami untuk mengajarkan mereka. Kalau di puskesmas, mereka punya program dapur hidup dan kami dilibatkan," ujar Neta.

Menurut jurnal Penerapan Program Dapur Hidup untuk Menanggulangi Dampak Ekonomi Pandemic Covid 19 dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, dapur hidup dapat diartikan sebagai program yang memanfaatkan lahan pekarangan rumah untuk menanam sayur-mayur. Sayuran yang ditanam biasanya dapat berupa kebutuhan pokok yang sering dikonsumsi.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Memulihkan Persepsi tentang Pertanian

Netha Kore Bangngu, penggerak komunitas Kupang Batanam dan inisiator berkebun di pekarangan rumah. (dok. YouTube Kementerian LHK / https://www.youtube.com/watch?v=XzDYsVxBBSo / Gabriella Ajeng Larasati)

Kolaborasi yang dilakukan oleh Kupang Batanam lainnya bersama dengan Yayasan Tafena Tabua dengan mengajarkan Bahasa Inggris kepada anak-anak SMK. Uniknya, sembari belajar bahasa, mereka juga diwajibkan untuk bertani dalam skala kecil.

Menurut Neta, cara-cara tersebut merupakan langkah kecil yang bisa diajarkan kepada anak muda untuk bertani. "Jangan memandang pertanian itu rendah, jangan memandang pertanian itu kotor," ucap Netha.

Kolaborasi dan pendekatan kepada pemangku jabatan menjadi kunci keberhasilan program berkebun di pekarangan untuk diperkenalkan kepada masyarakat. Misalnya, berkolaborasi dengan GEF SGP Indonesia, yang membuat mereka bisa mengajarkan berkebun di pekarangan dan mengembangkan tanaman padi hitam yang sudah jarang ditemui di Pulau Semau, NTT.

"Kampanye dulu ke orang-orang kunci, seperti pemerintah desa, gereja, dan masyarakat lainnya. Nanti mereka akan kasih mamak (ibu-ibu) yang tertarik untuk berkebun di pekarangan," ujar dia. "Kami tidak mau para mamak saja, tapi dalam rumah tangga juga ada kerja sama antara suami dan anak supaya mereka saling membantu."

 

 

 


Dorongan untuk Anak Muda

Ilustrasi anak laki-laki sedang bercocok tanam di pekarangan rumahnya. (dok. CDC/Unsplash.com)

Saat ini, profesi petani jauh di luar angan-angan anak muda. Jika mereka ditanya cita-cita, jarang sekali yang menyebutkan bahwa cita-cita mereka menjadi petani. Padahal, profesi petani sangat dibutuhkan guna memenuhi kelangsungan hidup masyarakat dan negara.

"Kalau dilihat dari data BPS, petani-petani kita adalah petani tua, rata-rata 47-50 (tahun) dan ternyata petani muda hanya 2,3 persen. Jadi memang harus didorong," ujar Bambang Supriyanto, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan dalam talkshow Gerakan Kemandirian Pangan Melalui Jejaring Kreatif Anak Muda, Kamis, 14 Oktober 2021.

Bambang menyebut, anak muda perlu didorong dan diberi pemahaman bahwa ada tantangan global dan nasional untuk proses pemenuhan komoditas pangan. Namun, ia menyadari tidak mudah mengubah persepsi bahwa profesi petani itu menjanjikan dan keren bagi anak muda. (Gabriella Ajeng Larasati)


Apa Kabar Petani?

jumlah petani indonesia turun sejak tiga tahun terakhir (liputan6/yasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya