Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bersama EwasteRJ baru saja mengadakan webinar untuk menjadi katalis partisipasi publik secara nasional dalam pengelolaan sampah elektronik yang tepat.
Diharapkan, webinar ini bisa meningkatkan pemahaman dan pengetahuan pengelolaan sampah elektronik di kalangan masyarakat di Tanah Air.
Sebagai informasi, sifat konsumtif masyarakat terhadap perangkat elektronik turut mendorong sampah elektronik di Indonesia dengan jumlah cukup signifikan. Di sisi lain, laporan Global E-Waste 2020 dari PPB menyebutkan jumlah sampah elektronik pada 2019 mencapai 53 juta ton.
PBB pun memprediksi jumlah sampah elektronik akan mencapai 74 juta ton pada 2030, dan melonjak menjadi 120 juta ton pada 2050. Sementara di Indonesia sendiri, timbunan sampah elektronik mencapai 2 juta ton pada 2021, dengan Pulau Jawa berkontribusi hingga 56 persen dari generasi limbah elektronik 2021.
"Pengelolaan sampah elektronik di Indonesia belum optimal, sehingga perlu adanya upaya integrasi antara pemerintah, pemerintah daerah, pelaku usaha/industri, produsen maupun masyarakat," ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3, KLHK, Rosa Vivien Ratnawati, dalam keterangan resmi, Jumat (15/10/2021).
Baca Juga
Advertisement
Oleh sebab itu, KLHK bersama EwasteRJ mengadakan webinar dengan tema 'Pengelolaan Sampah Elektronik di Indonesia'. Webinar ini diadakan sekaligus dalam rangka peringatan Hari Sampah Elektronik Internasional.
Webinar ini diadakan pada 14 Oktober 2021 yang dihadiri sejumlah narasumber dari KLHK, Kementerian Perindustrian, perwakilan produsen elektronik, dan komunitas EwasteRJ. Kegiatan ini diikuti kurang lebih 500 peserta yang berasal dari kementerian/lembaga, pemerintah daerah, pelaku usaha, komunitas, dan masyarakat.
Beberapa pembahasan dalam webinar ini meliputi penanganan sampah elektronik yang tepat dan ramah lingkungan, pemahaman dan inisiatif Pemerintah Daerah dalam pengelolaan sampah elektronik melalui pengembangan TPS 3R, serta pemahaman masyarakat mengenai sampah elektronik.
Perlu diketahui pula, merujuk PP 27 Tahun 2020 tentang pengelolaan sampah spesifik, sampah elektronik termasuk dalam sampah yang mengandung B3 yang memiliki dampak negatif pada manusia dan lingkungan, sehingga dibutuhkan penanganan yang tepat dan ramah lingkungan.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Limbah Elektronik Tahun 2021 Capai 57,4 Juta Metrik Ton
Sebagai informasi, limbah elektronik di seluruh dunia pada tahun 2021 diperkirakan mencapai 57,4 juta metrik ton.
Mengutip rilis pers WEEE Forum via Eurekalert, Kamis (14/10/2021), produksi limbah elektronik global meningkat setiap tahun sebesar 2 metrik ton, atau sekitar 3 hingga 4 persen.
Salah satu sumber masalah ini dikaitkan dengan tingkat konsumsi elektronik yang lebih tinggi--meningkat 3% setiap tahun, siklus hidup produk yang lebih pendek, dan pilihan reparasi yang terbatas.
"Banyak faktor yang berperan dalam membuat sumber daya sektor listrik dan elektronik menjadi efisien dan sirkular," ujar Pascal Leroy, Direktur Jenderal Forum WEEE, organisasi di balik Hari Limbah Elektronik Internasional.
Misalnya, kata Leroy, anggota organisasi WEEE mengumpulkan dan mengamankan daur ulang yang bertanggung jawab atas 2,8 metrik ton limbah elektronik pada 2020.
Namun, menurut dia, ada satu hal yang bersifat sangat sentral. "Selama warga tidak mengembalikan barang bekas, peralatan rusak, menjualnya, atau menyumbangkannya, kita perlu terus menambang semua material baru yang menyebabkan kerusakan lingkungan yang hebat," tutur Leroy.
Advertisement
Data di Eropa dan AS
Di Eropa, 11 dari 72 barang elektronik di rumah tangga rata-rata tidak lagi digunakan atau rusak. Setiap tahun per warga negara di Eropa, 4 hingga 5 kilogram produk listrik dan elektronik yang tidak terpakai ditimbun terlebih dahulu sebelum akhirnya dibuang.
Melengkapi data itu, sebuah penelitian di Prancis memperkirakan bahwa bobot dari 54 hingga 113 juta unit ponsel setara dengan 10 hingga 20 ton. Ponsel-ponsel ini kebanyakan tersimpan di dalam laci dan ruang penyimpanan lainnya di rumah tangga.
Di AS, di mana banyak ponsel didaur ulang, diperkirakan 151 juta ponsel atau lebih per tahun--sekitar 416.000 ponsel per hari--dibuang ke tempat sampah hingga akhirnya dibakar atau ditimbun.
Di sinilah masalahnya, 40 persen logam berat di tempat pembuangan sampah AS berasal dari sampah elektronik.
Sementara itu, peralatan besar yang dibuang seperti kompor dan lemari es merupakan komponen terbesar dari limbah elektronik. Peralatan-peralatan elektronik berukuran besar itu mengandung baja, tembaga, dan aluminium.
Virginijus Sinkevičius, Komisaris Uni Eropa untuk Lingkungan, Kelautan dan Perikanan, menyatakan bahwa limbah elektronik adalah salah satu jenis limbah yang tumbuh paling cepat di Eropa dan di seluruh dunia.
"Untuk mengubah tren ini, kita tidak boleh menganggapnya sebagai limbah, melainkan peluang yang terbuang sia-sia karena produk yang tahan lebih lama akan sangat menghemat tidak hanya bagi konsumen, tetapi juga dalam bahan mentah yang berharga dan emisi CO2," ujar Sinkevičius.
Komisi Uni Eropa untuk Lingkungan, Kelautan dan Perikanan, kata dia, sedang merancang persyaratan desain ramah lingkungan baru untuk perangkat elektronik. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan daya tahan perangkat dan membuatnya lebih mudah diperbaiki.
"Kami juga ingin konsumen memiliki informasi yang lebih baik, sehingga lebih mudah untuk membuat pilihan yang berkelanjutan," tutur Sinkevičius
(Dam/Ysl)