Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat nilai aktiva bersih (NAB) atau dana kelolaan reksa dana masih lesu seiring pandemi COVID-19 yang terjadi.
Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal I OJK, Djustini Septiana menuturkan, NAB reksa dana turun 1,59 persen dari Rp 573,54 triliun per 30 Desember 2020 menjadi Rp 564 triliun.
“Total NAB reksa dana alami penurunan 1,59 persen dari Rp 573,54 triliun per 30 Desember menjadi Rp 564 triliun,” ujar dia saat CMSE 2021, Jumat (15/10/2021).
Baca Juga
Advertisement
Ia mengatakan, kinerja pasar modal Indonesia masih dipengaruhi akibat pandemi COVID-19. Hal itu tak hanya terjadi di Indoensia tetapi juga negara lain.
Apalagi dampak varian delta COVID-19 mendorong pemerintah menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) sejak Juli 2021 diperpanjang hingga kini berdampak ke pasar modal Indonesia. Namun, pelaku pasar merespons positif seiring langkah tersebut untuk mencegah penyebaran COVID-19.
"Para pelaku pasar menyikapi positif yang diterapkan pemerintah untuk kurangi (kasus-red) COVID-19,” kata dia.
Ia menambahkan, respons positif pelaku pasar itu mendorong tren penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) seiring pemulihan ekonomi nasional. Tren IHSG masuk kuartal IV 2021 bergerak di posisi 6.500.
"Per 12 Oktober 2021, IHSG berada di posisi 6.486,27 atau naik 8,4 persen year to date. Market cap alami kenaikan 14,13 persen ytd dari sebelumnya Rp 6.968 triliun per 30 Desember 2020 menjadi Rp 7.954 triliun,” ujar dia.
Selain itu, dalam rangka penawaran umum, OJK sudah mengeluarkan surat pernyataan efektif untuk 136 emisi penawaran umum dengan nilai Rp 266,82 triliun, mencakup penawaran umum perdana, hak memesan efek terlebih dahulu, penawaran umum bersifat utang dan sukuk.
Dari sisi demand, terjadi fenomena peningkatan investor. Hingga 7 Oktober 2021, jumlah single investor d (SID) sebesar 6,56 juta.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Prospek Pasar Modal Indonesia
Sebelumnya, pasar modal Indonesia kian bersinar di pasar global, utamanya di kawasan Asia Tenggara. Hal itu sejalan dengan upaya Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk turut mendorong dan mengembangkan ekonomi baru di tanah air.
Direktur Penilaian Perusahaan BEI, I Gede Nyoman Yetna Setia menuturkan , berbicara ekonomi baru tak bisa lepas dari peran teknologi sebagai infrastruktur penunjangnya. Dengan bonus demografi yang besar dan adaptif terhadap teknologi, ekonomi Indonesia disebut memiliki prospek yang cemerlang.
"Indonesia adalah bagian dari negara-negara Asia Tenggara, yang memiliki pertumbuhan yang menjanjikan di masa depan, karena pertumbuhan populasi muda yang besar,” kata Nyoman dalam CMSE Expo, Jumat, 15 Oktober 2021.
Nyoman mengatakan, ada 670 juta penduduk di 11 negara di kawasan Asia Tenggara. Indonesia menyumbang hampir 40 persen penduduk di daerah tersebut. Selain itu, Nyoman mengungkapkan, Indonesia memiliki jumlah unicorn tertinggi di ASEAN.
"Berdasarkan data, 6 dari 13 unicorn berasal dari Indonesia. Lebih-lebih lagi. Indonesia juga memiliki potensi besar untuk menciptakan Unicorn baru," tutur Nyoman.
Senada, Chief Executive Officer Hong Kong Exchanges & Clearing, Nicolas Aguzin mengatakan, Indonesia memiliki prospek menjanjikan di masa mendatang. Hal itu merujuk pada sejumlah capaian Bursa Efek Indonesia (BEI) hingga saat ini.
Advertisement
Didukung Pertumbuhan Ekonomi
Ia menuturkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini sangat sangat mengesankan. Bahkan diproyeksi Bank Dunia untuk tumbuh 4,4 persen pada tahun ini, dan berlanjut hingga tahun depan.
"Jadi, tren pasar modal yang cukup impresif dan belakangan ini juga sejalan dengan pemulihan ekonomi,” ujarAguzin.
Bahkan ia prediksi, pemulihan ekonomi tinggi berlanjut pada 2022.
"Ini kemungkinan akan naik lebih tinggi tahun depan. Mencerminkan tingginya pendanaan oleh banyak perusahaan, karena mereka pulih dari tekanan selama pandemi covid-19,” kata dia.
Nyoman memaparkan data per 8 Oktober yang menyebutkan terdapat 38 IPO senilai Rp 32,15 triliun. Sementara masih ada 21 perusahaan yang berada di pipeline IPO Bursa.
"Jadi dengan IPO baru-baru ini, kami mengharapkan likuiditas pasar modal di Indonesia yang lebih besar, termasuk daya tarik aliran masuk modal asing lebih lanjut,” pungkasnya.