Cerita Akhir Pekan: Pentingnya Pendampingan bagi Korban Pelecehan Seksual

Pendampingan dari orang-orang terdekat berperan sangat penting bagi korban pelecehan seksual yang tak jarang dilanda perasaan bersalah.

oleh Putu Elmira diperbarui 17 Okt 2021, 10:01 WIB
Ilustrasi Pelecehan Seksual Credit: pexels.com/pixabay

Liputan6.com, Jakarta - Pelecehan seksual masih menjadi salah satu momok dalam kehidupan sosial di Indonesia. Tindakan seksual yang tak diinginkan dan dipaksakan kepada korban juga beragam, ada yang secara fisik, lisan, atau isyarat tertentu.

Psikolog klinis dari Enlightmind Nirmala Ika menyampaikan pendampingan sangat dibutuhkan bagi korban pelecehan seksual. Mengingat tak sedikit dari mereka yang berujung para rasa bersalah yang besar.

"Salah satu sebabnya karena ranah privat mereka yang diserang dan kemudian sering kali menyalahkan diri karena kurang menjaga diri salah satunya," kata Ika saat dihubungi Liputan6.com, Kamis, 14 Oktober 2021.

Ika menyebut, ditambah dengan banyaknya masyarat yang kurang memahami adanya pendukung yang dapat membantu untuk memahami, memvalidasi perasaan korban pelecehan seksual. Para korban terkadang merasa ragu terkait apakah benar dirinya merasa marah.

"Pendamping-pendamping ini membantu memvalidasi perasaannya bahwa it's ok dia berhak merasa untuk itu, bukan salah dia, memahami up and down-nya dia karena dia sendiri berkecamuk di dalam," demikian tambah Ika.

Selain para profesional, para pendamping utama para korban adalah orang-orang terdekat, bisa keluarga juga sahabat, atau orang yang memungkinkan kerap berinteraksi dengan korban. Di sisi lain, tak sedikit pula para korban pelecehan seksual yang memilih bungkam, menyimpan rapat kepedihan seorang diri. 

"Salah satunya adalah pandangan masyarakat, pandangan orang-orang yang mendengarkan kisah mereka karena masih banyak akhirnya diserang balik," tambahnya.

Ika melanjutkan, dampak pelecehan seksual pada korban tidak memandang besar atau kecil tindakan yang dialami. "Sangat beragam kepada penghayatan subjek terhadap seksualitas diri dia, konsep diri, apakah perilaku itu berulang atau tidak, ketika peristiwa bagaimana dia memposisikan diri, punya power atau tidak," ungkapnya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Layanan Pendampingan

Ilustrasi pelecehan seksual. (dok. pexels/Anete Lusina)

Pendampingan terhadap korban pelecehan seksual turut dihadirkan oleh Yayasan Pulih. Psikolog klinis Yayasan Pulih Ika Putri Dewi menyampaikan layanan psikologis para korban utamanya adalah konseling.

"Di dalam konseling ada beragam, kalau dibutuhkan terapi-terapi untuk pemulihan trauma, kemudian misalnya masuk dalam ranah hukum. Selain memang proses pemulihan, juga konseling pendampingan dia menjalani proses hukum," kata Ika ketika dihubungi Liputan6.com, Jumat, 15 Oktober 2021.

Ika melanjutkan, asesmen psikologi diperuntukkan dalam kepentingan proses hukum tersebut, melihat dampat, melihat penghayatam korban terkait peristiwa yang dialami. "Itu menghasilkan surat keterangan ahli yang nantinya bisa dipakai untuk proses hukum, entah itu ketika proses penyidikan, maupun proses pengadilan," tambahnya.

Dikatakan Ika, asesmen psikologi menggunakan metode observasi, wawancara, alat-alat tes psikologi yang nantinya diintegrasi data-data tersebut hingga menghasilkan analisa dan kesimpulan. "Ada saran dan rekomendasi, itu disebut surat keterangan ahli, surat keterangan pemeriksaan psikologi," jelasnya.

"Dari surat itu bisa secara tertulis saja atau kadang-kadang diperlukan kehadiran psikolog untuk menjadi saksi ahli di proses pengadilan, itu bagian dari pelayanan," terang Ika.


Proses Pemulihan Tak Sederhana

Ilustrasi kekerasan seksual. (dok. pexels/Anete Lusina)

Meski begitu, tak sedikit kasus pelecehan seksual yang tidak menempuh jalur hukum. Para korban ingin menjalani proses pemulihan dan pendampingannya bertujuan sebagai pemulihan psikologi, konseling, dan jika diperlukan ada terapi-terapi untuk proses pemulihan traumatis.

"Tujuannya proses pemulihan, kondisi pulih bisa didefinisikan sebagai ketika individu tersebut pada akhirnya mampu untuk kembali lagi ke aktivitas keseharian seperti biasanya sebelum kejadian, bisa beraktivitas keseharian secara normal, pulih itu sebenarnya seperti itu," jelas Ika.

Ika menegaskan bahwa proses pemulihan peristiwa kekerasan seksual yang dialami bukan hal yang sederhana. "Pun ketika target individunya mampu kembali beraktivitas sehari-hari secara normal, kemudian ketika mengalami kondisi psikologis yang dirasa tidak nyaman lagi atau sulit, paling tidak individu ini diharapkan mampu secara mandiri mengelola situasi-situasi psikologis yang mungkin bisa saja muncul," jelasnya.

Proses pemulihan begitu kompleks, membutuhkan waktu, dan proses yang panjang dan mungkin bisa sepanjang kehidupan. Maka, tujuan layanan pendampingan adalah membantu korban kembali beraktivitas normal dan mampu mengelola diri secara mandiri.

"Paling tidak support system-nya mampu memberikan support ketika nanti ada hal-hal sulit lagi dia secara subjektif merasakan sulit lagi muncul kembali, dia mampu mengelolanya. Kalau dia merasa tidak mampu, dia bisa kembali lagi untuk meminta bantuan dengan layanan profesional," ungkap Ika.


Kisah Korban

Ilustrasi kekerasan seksual. (dok. Pexels/Josie Stephens)

Pelecehan seksual dapat terjadi kepada siapa saja, di mana saja dan kapan saja. Salah satu kisahnya dibagikan oleh seorang pegawai swasta di Jakarta berinisial UA.

"Waktu itu saya masih SMP dan lagi di dalam kendaraan umum mau pulang sekolah. Pas masih nunggu kendaraan jalan, saya kaget banget waktu ada murid laki-laki dari sekolah tetangga yang tiba-tiba pegang payudara saya," kata UA kepada Liputan6.com, Sabtu, 16 Oktober 2021.

Ia melanjutkan, kejadian itu berlangsung sangat cepat. Murid laki-laki itu lantas beranjak ke luar kendaraan umum dan tertawa lepas sesaat bertindak demikian kepada UA.

"Karena kaget bukan main, saya benar-benar terdiam. Perasaan campur aduk dari bingung, kaget, marah, jijik, kesal banget. Saya nangis dan ditenangin sama teman sekolah," lanjutnya.

Dikatakan UA, pelaku pelecehan itu ternyata sebelumnya sempat bertengkar dengan teman sekolahnya. Ia menyebut tidak mengenal murid tersebut. Ia memilih tidak bercerita kepada siapapun karena malu dan memendam kepedihannya bertahun-tahun.

Memasuki kehidupan sebagai perempuan dewasa, catcalling bukanlah hal baru bagi UA. Namun, ia kembali memilih diam dan tidak melawan atau menegur pelaku karena takut akan terjadi hal yang membahayakan dirinya.

"Rasa kesal saya kayak enggak bisa diungkapkan sama kata-kata. Jengkel luar biasa waktu mereka catcalling, terus coba mendekat, saya pura-pura enggak dengar dan lihat terus jalan lebih cepat. Saya benar-benar enggak nyaman sikap itu," jelasnya.

Tak hanya di jalan dengan laki-laki yang tidak dikenal, pelecehan seksual juga dirasakan UA saat di lingkungan kerja. Salah seorang teman kerjanya yang kerap berkata tak senonoh dan itu juga membuatnya sangat tidak nyaman.

"Setiap dia ngomong kotor, duh, saya enek banget. Daripada saya jengkel sendiri, saya pilih selalu menjauh dari dia," lanjutnya.


Infografis Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual

Infografis Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya