Liputan6.com, Jakarta - Harga emas mengalami tekanan yang cukup besar pada perdagangan pekan lalu setelah gagal menembus level resisten di USD 1.800 per ons atau sekitar Rp 25,2 juta per ons (estimasi kurs 14.000 per dolar AS). Pada pekan ini, harga emas masih masih mengalami tekanan yang cukup berat karena beberapa sentimen.
Kepala strategi pasar Blue Line Futures Phillip Streible mengatakan, tekanan harga emas di sebabkan oleh beberapa sentimen seperti ekspektasi suku bunga dari Bank Sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed) hingga adanya risiko di pasar modal atau ekuitas.
"Emas mengalami resistensi besar-besaran. Suku bunga the Fed mengindikasikan kenaikan tahun depan. Ada pembicaraan yang lebih kecil, imbal hasil naik, dan risiko ekuitas kembali. Komoditas lain memainkan inflasi yang jauh lebih baik, seperti kapas dan tembaga," ujar Streible, seperti dikutip dari Kitco, Senin (18/10/2021).
"Emas memiliki begitu banyak resistansi di harga USD 1.800, USD 1.805, dan USD 1.815. Level kritis yang harus dipertahankan adalah USD 1.750. Jika kita menembus harga itu, maka kita bisa melihat harga emas akan terus turun ke USD 1.720 dan USD 1.685," bebernya.
kepala strategi global TD Securitiesm Bart Melek menyebutkan bahwa sebagian besar kecemasan yang terjadi pada harga emas saat ini dapat dikaitkan dengan perkembangan teknis. Menurutnya, emas bereaksi terhadap kenaikan penjualan ritel.
"Yang penting, secara teknis, harga tidak melewati USD 1.800. Emas naik tepat di atas USD 1.796, yang merupakan rata-rata pergerakan selama 200 hari tetapi gagal untuk dihilangkan. Dan itu memberi seseorang izin untuk menjual lagi," jelas Melek.
"Ini adalah kombinasi dari kegagalan untuk meyakinkan bergerak di atas level teknis utama dan kurva imbal hasil meningkat, dengan imbal hasil 10-tahun naik. Dolar AS juga melambung," imbuhnya.
Sedangkan berdasarkan hasil survei harga emas Kitco menunjukkan bahwa dari 13 analis yang berpartisipasi. Dari jumlah tersebut, opini hampir terbagi rata. Sebanyak 38,5 persen bullish, lalu 38,5 persen bearish, dan 23 persen memilih netral.
Sisi Main Street atau pelaku pasar tetap lebih optimis. Dari 1.425 investor ritel yang berpartisipasi, sebanyak 68 persen optimis. Lalu 19 persen bearish, dan 13 persen netral.
Baca Juga
Advertisement
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Persaingan dengan Bitcoin
Sementara itu, nilai bitcoin mencapai USD 60.000 dan mendekati level tertinggi sepanjang masa untuk pertama kalinya dalam enam bulan juga menambah tekanan, dengan emas terus bersaing dengan mata uang kripto sebagai aset lindung nilai inflasi.
"Bitcoin akan mendapatkan banyak perhatian. Bitcoin menjadi pisau belati di sisi emas ketika mulai mendapatkan lebih banyak publisitas. Agar emas menjadi lebih baik, diperlu pertumbuhan," Streible menjelaskan.
Namun banyak analis mengamati dengan cukup optimis bahwa emas tetap akan mampu bersaing di samping kemundurannya, mencatat bahwa permintaan emas akan terus datang.
"Akan selalu sulit bagi emas untuk mendapatkan di atas USD1.800. Tetapi penurunan ini adalah peluang pembelian. Ketakutan meningkat, dan banyak orang mencari keamanan. Emas, kripto, dan Departemen Keuangan biasanya menjadi tujuan mereka. Saya memperkirakan harga emas di willayah utara mencapai 1.800 minggu depan. Ini didasarkan pada ketakutan inflasi serta masalah rantai pasokan," kata pialang komoditas senior RJO Futures, Bob Haberkorn.
Haberkorn juga menyebut, emas akan belajar untuk hidup berdampingan dengan bitcoin.
"Bitcoin terlihat lebih bersinar sekarang, tetapi pada akhirnya, emas tetaplah emas," sebut Haberkorn.
Salah satu hambatan terbesar yang dihadapi logam mulia adalah ekspektasi pasar bahwa Federal Reserve akan lebih agresif dalam hal mengurangi pembelian obligasi dan menaikkan suku bunga.
"Pedagang emas tahu bahwa ada kenaikan suku bunga yang akan datang. Inilah sebabnya mengapa harga telah lama ditawarkan di bawah USD 1.800. Tetapi kenaikan suku bunga yang akan datang akan berjumlah minimal. Dengan semua utang AS, pemerintah Federal tidak dalam posisi untuk mulai menaikkan secara agresif untuk tarif," kata Haberkorn.
Advertisement