Liputan6.com, Jakarta - Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Jahja Setiaatmadja cerita mengenai alasan perseroan menggelar pemecahan nilai nominal saham. Salah satunya agar saham BBCA dapat dijangkau oleh investor ritel.
Saham BBCA baru diperdagangkan dengan harga baru pada 13 Oktober 2021, setelah mendapatkan persetujuan otoritas untuk menggelar stock split atau pemecahan nilai nominal saham.
Aksi korporasi stock split ini sebelumnya telah disetujui dengan rasio 1 : 5 (1 saham dipecah menjadi 5 saham baru). Nilai nominal per saham BBCA sebelum stock split adalah Rp62,5, sedangkan nilai nominal per saham BBCA setelah stock split menjadi sebesar Rp12,5.
Baca Juga
Advertisement
Jahja menuturkan, sebelum stock split dengan rasio 1:5, harga saham BBCA di atas Rp 30 ribu. Bahkan ketika koreksi terjadi di bursa saham pada awal COVID-19 pada 2020, menurut Jahja, saham BBCA masih tinggi. Saat itu, saham BBCA sentuh posisi Rp 26.000.
Kemudian tidak lama, Jahja menuturkan, saham BBCA kembali naik ke posisi Rp 30 ribu-Rp 35 ribu. Jahja mengatakan, harga saham BBCA di atas Rp 30 ribu tersebut tidak menjadi masalah bagi investor institusi termasuk dana pensiun, asuransi dan luar negeri. Oleh karena itu, perseroan ingin investor ritel dapat menjangkau saham BBCA.
"Kita coba support. Ini supaya dapat kesempatan investor ritel, investor kecil, para milenial untuk belajar investasi di saham. Tentu kita bagi jadi lima. Harga Rp 35 ribu sekarang jadi seharga Rp 7.000,” ujar dia saat diskusi dalam youtube Show Liz, dikutip Sabtu (16/10/2021).
Pada hari pertama stock split pada 13 Oktober 2021, saham BBCA dibuka naik menjadi Rp 7.400. Bahkan sempat sentuh posisi tertinggi Rp 8.250. Kemudian pada 14 Oktober 2021, saham BBCA kembali naik ke posisi Rp 7.750. Jahja mengatakan, harga saham BBCA itu memang sudah terjangkau.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Investor Harus Rasional
Namun, ia mengingatkan investor agar bijak. Hal ini mengingat saham BBCA bukan hanya dikuasai investor ritel tetapi juga dikuasai investor asing, institusi dan banyak pemodal besar.
"Mereka itu mengerti sekali fundamental, jadi mereka sudah incar bisa jadi pada harga berapa ini sudah kemahalan. Kalau harga naik itu normal. Tapi kita harapkan Anda jangan too emotional dikejar terus harganya, itu tidak benar," ujar Jahja.
Ia menambahkan, hal itu lantaran investor besar juga akan bersiap ambil untung jika harga saham sudah tinggi.
"Karena banyak investor besar siap take profit. Kalau hitungan mereka bayangkan Rp 8.000 kali lima Rp 40 ribu. Padahal sebelumnya Rp 35 ribu, terlalu tinggi juga mereka langsung take profit, ini juga harus diwaspadai,” ujar dia.
Jahja mengatakan, saham-saham memiliki fundamental baik dalam jangka panjang akan naik. Ia mengatakan, harga saham naik turun merupakan hal normal.
"Tetapi tidak bisa dipacu juga setinggi langit. Harus rasional dan cool. Pada saat tepat Anda beli, saat Anda untung tak halangi untuk jual. Tetapi penting fundamental, itu jangka panjang,” ujar Jahja.
BCA telah melakukan stock split sebanyak empat kali sejak debut di Bursa Efek Indonesia (BEI). Jahja menuturkan, saat go public, harga saham BBCA dipasarkan Rp 1.400 pada 2000. Kemudian, pada 2001, perseroan menggelar stock split dengan rasio 1:2. ”Kalau hitung harga dari Rp 1.400, originalnya Rp 700,” kata dia.
Perseroan kembali stock split pada 2004 dengan rasio 1:2. "Jadi hitung harga awal sudah naik sebenarnya. Rp 700 bagi dua lagi jadi Rp 350,” kata dia.
Selanjutnya ketiga kali, perseroan gelar stock split dengan rasio 1:2 pada 2008.”Dari Rp 350 jadi Rp 175 kalau dihitung harga pertama kita go public,” ujar Jahja.
Kemudian perseroan menggelar stock split dengan rasio 1:5 pada 2021.”Kita stock split 1:5, artinya Rp 175 dibagi lima itu Rp 35. Harga awal Rp 35 sekarang sesudah stock split kemarin kira-kira Rp 7.500 bisa dibayangkan tren harga,”kata dia.
Advertisement