Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyoroti sebuah video yang viral di sosial media mempertontonkan aksi arogan anggota polisi melakukan penggeledahan paksa terhadap ponsel seorang pemuda saat razia. Pemeriksaan itu dilakukan secara acak pada malam hari di Jalan Cipinang Indah, Jakarta Timur.
Pemuda tersebut tidak terima ponselnya diperiksa lantaran merupakan bagian dari privasinya. Ini memunculkan sejumlah pertanyaan, terkait sejauh mana kerja kepolisian dibatasi oleh hak atas privasi.
Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar menyampaikan, salah satu perbuatan yang dilarang oleh Pasal 30 UU ITE dan dapat dikualifikasikan sebagai kejahatan adalah akses ilegal terhadap sistem elektronik orang lain dengan sengaja dan tanpa hak.
Baca Juga
Advertisement
"Artinya, setiap perbuatan mengakses sistem elektronik yang berada di bawah penguasaan orang lain secara sengaja dan tanpa hak merupakan tindak pidana," tutur Wahyudi dalam keterangannya, Selasa (19/10/2021).
Menurut Wahyudi, penggeledahan merupakan salah satu bentuk upaya paksa yang dapat dilakukan oleh penyidik kepolisian. Mereka dapat memasuki dan melakukan pemeriksaan di rumah tempat kediaman seseorang, atau untuk melakukan pemeriksaan terhadap badan dan pakaian seseorang sesuai Pasal 32 KUHAP.
Hanya saja, upaya tersebut hanya dapat dilakukan dalam dua kondisi, yakni tertangkap tangan atau adanya izin dari ketua pengadilan negeri setempat. Agar tindakan penggeledahan lawful sebagai bagian dari proses penyidikan, maka terlebih dahulu ada perbuatan pidana atau dugaan tindak pidana yang tengah disidik.
"Penggeledahan menjadi salah satu upaya paksa terhadap tersangka, dalam rangka pencarian alat bukti. Oleh karena itu tindakan polisi menggeledah secara paksa seseorang di tengah jalan, dan bukan bagian dari proses penyidikan, dapat dikatakan sebagai tindakan sewenang-wenang terhadap privasi seseorang," jelas dia.
Tak Boleh Buka Ponsel Semena-Mena
Selain bermasalah dalam kacamata hukum acara, kata Wahyudi, tindakan polisi menyamakan identitas dan ponsel adalah kekeliruan. Ponsel dan isinya, dalam suatu proses pidana harus dilihat sebagai alat bukti elektronik, bahkan seluruh data dari ponsel tersebut adalah bagian dari data pribadi yang harus dilindungi, tidak boleh dibuka secara semena-mena.
Tindakan pembukaan terhadap isi ponsel baru dianggap sesuai dengan hukum jika dilakukan untuk tujuan penyidikan setelah adanya dugaan tindak pidana. IMEI telepon, IP Address, nomor SIM Card, dan seluruh data yang ada pada telepon genggam seseorang, adalah bagian dari data pribadi orang tersebut yang harus dilindungi.
"Memang tidak adanya UU Pelindungan Data Pribadi yang komprehensif telah berakibat pada besarnya kerentanan tindakan intrusi terhadap privasi seseorang, termasuk pada saat proses penegakan hukum sekali pun," kata Wahyudi.
Wahyudi mengatakan, mengacu pada Pasal 26 UU ITE sesungguhnya telah diatur dan dijelaskan perihal kewajiban menghormati dan melindungi hak atas privasi seseorang dalam hukum Indonesia. Hak atas privasi antara lain hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala macam gangguan, hak untuk dapat berkomunikasi dengan orang lain tanpa tindakan memata-matai, dan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi dan data seseorang.
Secara konseptual, ruang lingkup hak atas privasi sesungguhnya meliputi seluruh ruang hidup seseorang, termasuk di dalamnya privasi atas tubuh atau bodily privacy, privasi ruang-tempat tinggal atau spatial privacy, privasi komunikasi dan informasi atau communicational and informational privacy, dan privasi hak milik atau proprietary privacy.
Khusus di lingkungan Kepolisian, sambungnya, ketentuan Pasal 32 Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 telah mengatur perihal perlunya memastikan perlindungan hak atas privasi dalam tindakan penggeledahan terhadap orang dan tempat/rumah.
"Petugas wajib meminta maaf dan meminta kesediaan orang yang digeledah atas terganggunya hak privasi, karena harus dilakukannya pemeriksaan, dan petugas dilarang melakukan tindakan penggeledahan secara berlebihan dan mengakibatkan terganggunya hak privasi yang digeledah," ujar Wahyudi.
Bahkan secara khusus, Pasal 38 Peraturan Kapolri ini mengatur kewajiban anggota Polri untuk menghormati martabat dan privasi seseorang. Sedikitnya ada 12 ketentuan dalam peraturan ini yang menekankan pentingnya menghormati dan melindungi hak atas privasi dalam kerja kepolisian.
Advertisement
Menghormati Hak Privasi
Lebih lanjut, dalam konteks perlindungan data pribadi, Parlemen Eropa telah mengesahkan EU Directive 2016/680 tentang perlindungan individu sehubungan dengan pemrosesan data pribadi oleh pihak berwenang untuk tujuan pencegahan, investigasi, deteksi/penuntutan pelanggaran pidana/eksekusi pidana, dan pergerakan bebas dari data tersebut. Ketentuan (directive) tersebut melengkapi berlakunya EU General Data Protection Regulation (2016/679).
Menurut ketentuan ini, perlindungan data dalam penegakan hukum (pidana) harus mengacu pada prinsip: (i) pemrosesan harus dilakukan secara absah dan adil; (2) tujuan pemrosesan ditentukan eksplisit dan sah; (3) memadai, relevan, dan tidak berlebihan; (4) akurat dan selalu diperbarui; (5) disimpan tidak lebih dari yang diperlukan; dan (6) diproses secara aman.
Wahyudi pun menekankan beberapa hal, bahwa kepolisian perlu untuk secara konsisten memastikan penghormatan dan perlindungan hak atas privasi dalam seluruh kerja-kerja kepolisian, termasuk dalam segala jenis tindakan upaya paksa.
Komisi Penyiaran Indonesia dan Kepolisian pun mesti mengevaluasi sejumlah tayangan di beberapa stasiun televisi, dengan latar kerja-kerja kepolisian, untuk memastikan pelaksanaan kewajiban menghormati hak atas privasi dalam penyiaran, mengacu pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
"Kebutuhan untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip perlindungan hak atas privasi dan data pribadi dalam pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), guna memastikan adanya rujukan perlindungan data pribadi yang komprehensif dalam seluruh proses penegakan hukum pidana," Wahyudi menandaskan.