KontraS: 2 Tahun Jokowi-Maruf Amin, Demokrasi Alami Kemunduran Signifikan

Bila hal ini terus berlanjut dan dibiarkan, dikhawatirkan demokrasi di Indonesia akan menuju titik nadir.

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Okt 2021, 06:18 WIB
Joko Widodo atau Jokowi (kanan) dan Ma'ruf Amin (kiri). (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Dalam momentum 2 tahun kepemimpinan Jokowi-Ma’aruf Amin, KontraS mengeluarkan sejumlah catatan untuk menguji sejauh mana penyelenggaraan negara telah tunduk pada prinsip demokrasi, HAM dan rule of law. Diketahui, 2 tahun kepemimpinan itu tepat pada 20 Oktober 2021.

"Hampir setahun setelah diterbitkannya catatan tatu tahun Pemerintahan Jokowi-Ma’aruf oleh KontraS pada 19 Oktober 2020 lalu, kami melihat masih nihilnya komitmen Presiden Jokowi dalam melakukan perbaikan," kata Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar dalam keterangannya, Selasa (19/10/2021).

"Sebaliknya, kondisi demokrasi justru semakin memburuk dengan abainya negara terhadap perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM sebagai mandat konstitusi. Fenomena-fenomena permasalahan di masa Pemerintahan Joko Widodo cukup menggambarkan bahwa situasi demokrasi Indonesia merosot tajam di tahun kedua kepemimpinan Joko Widodo-Ma’aruf Amin," sambungnya.

Mereka menilai, sepanjang dua tahun memimpin di periode keduanya, demokrasi mati secara perlahan. Hal ini dapat dilihat dari situasi kebebasan sipil yang semakin memburuk.

"Makin masifnya serangan terhadap Pembela HAM, negara kian abai terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, pendekatan represif di Papua yang minim koreksi, minim komitmen terhadap instrumen HAM Internasional serta nihilnya partisipasi dalam pembuatan regulasi," ujarnya.

"Situasi kebebasan sipil kian memburuk. Sepanjang Oktober 2019-September 2021, ada 360 peristiwa pelanggaran kebebasan berekspresi. Baik itu kebebasan berkumpul maupun menyampaikan pendapat di muka umum. Pelakunya masih didominasi oleh pihak kepolisian. Polanya juga masih sama, pembubaran paksa dan penangkapan sewenang-wenang. Alasannya untuk mencegah kerumunan. Tapi di satu sisi, ada indikasi tebang pilih. Misal, presiden hadir dalam pernikahan selebriti atau menghadiri suatu acara yang berpotensi menimbulkan kerumunan di tengah pandemi Covid-19," sambungnya.

Sementara itu, peniliti KontraS Rozy Brilian menyebut, hastag #PercumaLaporPolisi bisa menjadi momentum bagi Polri untuk melakukan perbaikan di jajaran internal.

"Hastag #PercumaLaporPolisi, seharusnya bisa menjadi momentum bagi Polri untuk melakukan perbaikan di jajaran internal. Jendral Kapolri Listyo Sigit Prabowo harus mengambil tindakan penuh. Karena polisi selalu menjadi aktor kekerasan dengan kasus tertinggi," ujar Rozy.

Staf Divisi Pengawasan Impunitas KontraS, Ahmad Sajali menuturkan, penuntasan pelanggaran HAM berat sebagai salah satu janji di kampanye dan program kerja Jokowi yang masih belum bisa dibuktikan hingga hari ini.

"Indikator nyatanya, ialah bergabungnya Prabowo menjadi Menteri Pertahanan di periode kedua Presiden Jokowi; pemberian bintang jasa kepada terduga pelanggar HAM, Eurico Guterees; tidak adanya agenda penuntasan pelanggaran HAM berat di Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2021-2025, hingga belum diratifikasinya Konvensi Internasional Anti Penghilangan paksa," tutur Sajali.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Penegakan HAM dan Demokrasi Mundur

Lalu, berdasarkan Koordinator KontraS lainnya yakni Fatia Maulidiyanti menyebut, Demokrasi Indonesia yang digadang-gadang (di Asia Tenggara), tidaklah berbanding lurus dengan fakta di lapangan.

"2 tahun kepemimpinan Joko Widodo-Ma’aruf Amin, masih menunjukan komitmen yang nihil dalam penegakkan HAM di Indonesia. Situasi di Papua juga kian memburuk, salah satunya, ialah tidak adanya penguatan masyarakat sipil. Forum internasional sering dijadikan sebagai formalitas belaka oleh pemerintah Indonesia. Karena faktanya, banyak pelanggaran HAM yang masih belum terselesaikan," sebut Fatia.

"Dalam kasus-kasus diatas, kami bisa menyimpulkan bahwa demokrasi di Indonesia dalam dua tahun dibawah kepemimpinan Jokowi telah mengalami kemunduran secara signifikan. Apabila hal ini terus berlanjut dan dibiarkan, kami mengkhawatirkan demokrasi di Indonesia akan menuju titik nadirnya," tutupnya.

Reporter: Nur Habibie

Sumber: Merdeka.com

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya