Liputan6.com, Jakarta Kehadiran para orang terkaya dunia memberi dua sisi bagi masyarakat awam memandangnya. Keberadaan para miliarder ini mampu membuat seseorang membenci sekaligus menyanjung mereka.
Masyarakat akan membenci karena merasakan adanya kesenjangan kekayaan dibandingkan para miliarder.
Namun, di sisi lain, seseorang tersebut juga bisa mengagumi sosok miliarder, seperti Bill Gates dengan sikap kerja kerasnya dan Elon Musk dengan idenya yang berani.
Baca Juga
Advertisement
Alasan terbentuknya pemikiran yang sangat kontras tersebut dijelaskan dalam penelitian terbaru yang dirilis Ohio State University dan Cornell University pada Senin, 18 Oktober 2021.
Melansir dari CNBC, Kamis (21/10/2021), sebanyak 2.800 peserta di delapan eksperimen berbeda terlibat dalam penelitian ini.
Hasil yang ditemukan adalah mereka memercayai bahwa individu bisa menjadi kaya berkat kecerdasan, bakat, dan sifat kerja keras yang dimiliki sehingga layak mendapatkan kekayaan.
Namun, ketika membahas terkait sekelompok orang kaya, seperti eksekutif C-suite atau 1 persen penerima gaji teratas di Amerika, banyak peserta yang mengaitkan kekayaan mereka dengan faktor keberuntungan dan sistem ekonomi yang menguntungkan mereka.
Hal tersebut diungkapkan oleh Jesse Walker, penulis utama penelitian sekaligus asisten profesor pemasaran di Fisher College of Business di Ohio State University.
Peningkatan Gaji CEO
Lebih lanjut, dalam salah satu eksperimen, peserta membaca fakta yang sama bahwa gaji CEO dari 350 perusahaan terbesar di Amerika mengalami pertumbuhan dari 48 kali lipat rata-rata gaji pekerja pada 1995 menjadi 372 kali lipat pada hari ini. Eksperimen ini dibingkai dalam dua cara yang berbeda.
Satu kelompok melihat bahwa semua gaji CEO telah meningkat. Sementara itu, kelompok lainnya melihat secara spesifik CEO dari sebuah perusahaan besar yaitu Avnet mengalami peningkatan gaji.
Lebih banyak peserta di kelompok kedua yang menilai CEO pantas mendapatkan gaji melebihi pekerja rata-rata pada umumnya.
Temuan ini memiliki keterkaitan dengan dunia nyata. Walker mengatakan cara pembuat kebijakan dan media dalam membicarakan topik terkait kekayaan dan kesenjangan bisa memengaruhi toleransi seseorang terhadap perbedaan kekayaan yang ekstrem.
Diketahui orang-orang cenderung mendukung pemberian pajak kekayaan pada miliarder ketika mereka memikirkan antara kelompok miliarder dan miliarder individu.
Tentunya hal ini sangat relevan selama pandemi COVID-19. Pasalnya, miliarder Amerika terus-menerus mendapatkan keuntungan.
Berdasarkan data yang dianalisis oleh Americans for Tax Fairness dan Institute for Policy Studies, miliarder lebih kaya USD 2,1 triliun (Rp 29.680 triliun) selama pandemi dengan peningkatan kekayaan kolektif sebesar 70 persen.
Advertisement
Upaya Tutupi Kesenjangan
Beberapa miliarder memiliki rencana untuk menutupi kesenjangan dalam beberapa tahun belakangan ini, misalnya Gates. Ia mendukung pemberian pajak capital gain yang lebih tinggi.
Istilah tersebut merujuk kepada pemberian pajak atas uang yang dihasilkan dari investasi dan pajak pendapatan negara bagian di negara bagian asalnya yaitu Washington.
"Beberapa orang berakhir dengan banyak keuntungan dan saya telah mendapatkan penghargaan secara tidak seimbang untuk pekerjaan yang dilakukan. Sementara itu, banyak orang yang juga bekerja keras dan berjuang untuk bertahan hidup," kata Gates dalam salah satu tulisannya di blogspot pada Desember 2019.
Saat itu, Gates memiliki kekayaan sebesar USD 109 miliar (Rp 1.541 triliun). Namun, Forbes mencatat kekayaan Gates hari ini mencapai USD 124 miliar (Rp 1.753 triliun) dan membawanya menjadi orang terkaya keempat di dunia.
Reporter: Shania