HEADLINE: Pengelola Akun di YouTube Sebar Hoaks dan Raup Untung, Manfaatkan Celah?

Kepolisian belum lama ini mengungkap kasus hoaks dan konten provokatif yang dibuat channel YouTube, Aktual TV. Dalam delapan bulan, pelaku meraup keuntungan fantastis mencapai Rp 2 miliar dari konten hoaks tersebut.

oleh Nafiysul QodarAgustinus Mario DamarNanda Perdana PutraAdy Anugrahadi diperbarui 24 Okt 2021, 07:39 WIB
Ilustrasi channel Youtube Aktual TV. Kepolisian telah menangkap tiga orang terkait penyebaran hoaks dan konten provokatif di saluran Youtube Aktual TV. Salah satu tersangka merupakan bos TV swasta di Bondowoso, Jawa Timur. (Liputan6.com/Nafiysul Qodar)

Liputan6.com, Jakarta - Kepolisian belum lama ini mengungkap kasus penyebaran berita bohong alias hoaks dan konten provokatif yang dilakukan channel atau saluran YouTube, Aktual TV. Tak tanggung-tanggung, dari ratusan konten hoaks yang dibuat dalam delapan bulan terakhir, pelaku meraup keuntungan fantastis mencapai Rp 2 miliar.

Yang tak kalah menarik, satu dari tiga tersangka yang ditangkap, yakni AZ merupakan Direktur PT Bondowoso Salam Visual Nusantara Satu yang memiliki siaran lokal bernama BSTV. Meski begitu, kepolisian memastikan penangkapan AZ tidak ada kaitannya dengan BSTV Bondowoso, tapi saluran Youtube, Aktual TV.

"Ada konten yang dia buat di YouTube namanya Aktual TV. Ini tidak terdaftar di Dewan Pers," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat 15 Oktober 2021 lalu.

AZ bersama dua anak buahnya yakni M dan AF ditangkap terkait konten hoaks dan hate speech atau ujaran kebencian yang dibuat di saluran YouTube, Aktual TV. Tersangka AZ merupakan pemilik saluran Aktual TV yang berperan sebagai pembuat ide dan editor konten. 

Sedangkan tersangka M bertugas sebagai content creator dan uploader. Sementara tersangka AF berperan sebagai pengisi suara dalam video-video yang diunggah di channel YouTube tersebut.

Yusri menyebut, motif sementara pembuatan dan penyebaran konten hoaks di Aktual TV adalah ekonomi. "Tujuannya mencari keuntungan," ungkapnya.

Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir mengatakan, penangkapan pemilik Aktual TV menunjukkan bahwa selama ini sumber hoaks memang benar-benar ada. Hoaks juga dikelola sedemikian rupa untuk mencari keuntungan.

"Itu istilah bahasanya profesi jahat yang melahirkan uang. Jadi statusnya sama dengan narkoba, objeknya itu sudah tidak halal hukum dan dia itu mencari keuntungan dari objek yang tidak halal hukum. Kalau itu kejahatan, jahatnya dua kali. Pertama hoaks itu sudah jahat, kedua dia mencari keuntungan dari hoaks itu," kata Mudzakir saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (22/10/2021).

"Jadi menurut saya kepolisian harus tegas. Enggak boleh toleransi lagi terhadap tindakan itu. Apalagi dia menguntungkan miliaran begitu," sambungnya.

Mudzakir mengungkapkan, ada dua kemungkinan tujuan hoaks tersebut diproduksi, yakni untuk kepentingan politik dan bisnis. Dalam urusan politik, hoaks diciptakan untuk menyerang atau menjatuhkan salah satu pihak atas orderan pihak lain.

Begitu juga dalam urusan bisnis. "Jadi bisnis ini bisa menguntungkan juga. Misalnya si A dengan si B kalah saing, dia akan bikin hoaks yang bisa menghancurkan lawan bisnisnya itu," katanya menyontohkan.

Meski begitu, dia menyebut, belum tentu pihak yang dibela dalam konten hoaks tersebut adalah pemesan atau pemilik kepentingan. Bisa jadi pihak yang dibela adalah target sebenarnya dari pemesan hoaks agar memunculkan kesan bahwa dia yang seolah-olah berada di balik konten tersebut.

"Itu harus ditafsirkan satu per satu di sidang pengadilan. Karena prinsipnya kalau namanya hoaks itu dia yang jualan siapa, dia akan membeli. Dia enggak mau tahu maksudnya apa. Pokoknya ordernya apa, tujuannya apa, itu dari pemilik order," ujar Mudzakir.

Infografis Geger Akun Penyebar Hoaks di YouTube. (Liputan6.com/Trieyasni)

Karena itu, dia menilai, pengungkapan kasus Aktual TV ini tidak cukup hanya berhenti pada tiga tersangka yang berperan sebagai produsen konten hoaks tersebut. Kepolisian perlu menggali lebih dalam lagi motif tersangka membuat konten-konten tersebut dan mencari siapa pemesannya.

"Itu hanya pembuka saja, karena ibaratnya dia kan pembelinya banyak, dengan pembelinya itu berbagai macam motif. Nanti kalau dia bener berbagai macam motif, barulah pembelinya harus digebuk juga," katanya.

Dalam bahasa hukum, kata dia, pemesan disebut sebagai penganjur atau turut serta menyampaikan hoaks kepada publik. Dia mendorong kepolisian mengusut kasus tersebut lebih dalam hingga ditemukan siapa pemesannya. 

"Nah penganjur ini mestinya harus dilacak oleh kepolisian agar supaya dituduhkan pasal 55 ayat 2 (KUHP) itu untuk dikenakan yang bersangkutan. Jadi supaya komplit lah, gitu. Sumber hoaks itu dia, tapi pembeli hoaks itu ternyata banyak," ucap Mudzakir.

Lebih lanjut, Mudzakir berharap kepolisian bersikap tegas kepada semua pembuat dan penyebar konten hoaks, baik yang menyerang pemerintah atau selain pemerintah. Sebab, selama ini konten hoaks dan hate speech begitu subur di media sosial yang tentunya sangat merugikan masyarakat.

"Yang saya ingin sampaikan, kata-kata hoaks itu sudah negatif. Kalau bahasa hukumya penyebaran berita bohong, itu negatif. Kalau itu sudah negatif, ya siapa pun orang yang menggunakan berita bohong itu negatif," katanya.


Memperburuk Polarisasi

Ilustrasi hoax. (via: istimewa)

Kriminolog Leopold Sudaryono menyoroti banyaknya konten kreator yang bersaing hanya demi mengejar view atau traffic pembaca untuk mendapat keuntungan dari pengiklan. Akibatnya, mereka berlomba menciptakan frame berita yang sensasional.

"Bahkan kemudian masuk ke kontennya pun akhirnya banyak yang sifatnya hoaks untuk lebih mengejar view, mengejar traffic," kata Leopold saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (22/10/2021).

Di sisi lain, hoaks dengan mudah menyebar karena masyarakat secara sosial memiliki kebutuhan untuk menjadi yang pertama dalam segala hal, termasuk informasi. Yang jadi masalah, tidak sedikit masyarakat yang mampu berpikir kritis dan bisa memfilter informasi yang diterima.

"Jadi di satu sisi yang memproduksi berita hoaks itu ada kepentingan untuk trafic tinggi, di lain sisi yang mengkonsumsi itu juga ada kepentingan untuk menjadi yang paling pertama tahu atau menyebarkan, ketemu lah itu," ujarnya.

Belum lagi jika informasi yang diterima itu memiliki afiliasi yang sama. Leopold melihat bahwa hingga saat ini, masyarakat Indonesia masih terpolarisasi berdasarkan afiliasi politik, misalnya kelompok yang pro terhadap pemerintah dan kelompok yang tidak.

Sehingga informasi-informasi yang sesuai dengan afiliasi politiknya akan mudah diterima, meski itu adalah hoaks. Begitu juga sebaliknya. "Pada akhirnya hoaks akan lebih memperparah polarisasi yang ada di masyarakat, kemampuan kita melihat perbedaan semakin buruk," ucap Leopold. 

Lebih lanjut, Alumnus S3 Kriminologi FISIP Universitas Indonesia (UI) ini membeberkan sejumlah tantangan yang perlu dilakukan untuk memerangi hoaks yang semakin menjamur. Pertama sebagai langkah jangka pendek, harus ada penegakan hukum yang tidak diskriminatif.

"Artinya kita bicara soal kepercayaan masyarakat nih, jadi yang ditegakkan adalah hoaks baik yang anti maupun yang pro pemerintah, itu harus sama-sama dihadapi. Jadi supaya orang kemudian percaya bahwa perang terhadap hoaks ini memang sesuatu yang obyektif. Jadi jangan hanya satu sisi, tapi dua-duanya," katanya.

Kemudian pemerintah pemerintah harus lebih aktif dalam memproduksi narasi-narasi yang tidak propagandis. Pemerintah harus terbuka dalam menyampaikan informasi tentang keberhasilannya, termasuk juga kendala atau kesulitan yang dihadapinya. Sehingga masyarakat melihat bahwa pemerintah fair dalam memberikan informasi kinerjanya.

"Saya berharap pemerintah juga tidak terpancing terhadap hoaks dalam artian melawan itu tidak hanya menyampaikan hal yang positif saja, karena justru akan memperparah polarisasi, tapi juga menyampaikan baik yang positif maupun negatif. Tantangannya seperti ini loh, kesulitan kita," ujar Leopold. 

"Misalnya pemindahan Ibu Kota baru ya progresnya seperti ini, tatangannya seperti ini, terbuka aja. Karena tertutup orang akan tahu dan kemudian malah jadi tidak percaya kepada pemerintah, akhirnya tambah parah nih polarisasinya," sambung dia.

Yang terakhir yakni pendidikan literasi digital. Menurut dia, pendidikan literasi digital di Indonesia masih sangat minim dilakukan. Dia kemudian mencontohkan soal literasi digital di Australia yang telah ditanamkan sejak kecil.

"Anak saya kebetulan ikut saya waktu di Australia. Tugas sekolahnya itu adalah memfilter berita, diminta ini yang menulis siapa, latar belakangnya apa, biasa menulis tentang apa, itu dilatih sejak kecil, sejak SMP. Jadi saat mereka baca berita itu mereka dilatih ini siapa yang menulis, biasanya menulis tetang apa, kredibilitasnya tuh dilihat, diukur."

"Nah, di kita tuh enggak ada ini. Jadi pokoknya udah pegang handphone, udah pegang smartphone, ya udah kemudian semua informasi itu jalan mengalir yang setuju dengan pilihan politiknya diambil, itu aja, enggak ada kemudian filtering," tutur Leopold.


YouTube Untung Besar dari Konten Negatif

Ilustrasi channel Youtube Aktual TV. Kepolisian telah menangkap tiga orang terkait penyebaran hoaks dan konten provokatif di saluran Youtube Aktual TV. Salah satu tersangka merupakan bos TV swasta di Bondowoso, Jawa Timur. (Liputan6.com/Nafiysul Qodar)

Pengamat media sosial, Ismail Fahmi, menuturkan platform seperti YouTube memang membebaskan isi konten yang dibuat pada platform-nya, selama belum ada laporan dari pengguna lain.

Bahkan, ia mengatakan, konten hoaks atau kontroversial itu dapat menguntungkan penyedia platform, karena memang biasanya banyak iklan yang dipasang di sana. Berdasarkan analisis yang pernah ia lakukan, pembuat konten hoaks juga bisa meraup untung besar.

"Ketika yang bikin video dapat duit banyak, YouTube bahkan bisa dapat duit lebih banyak," tutur Ismail saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (22/10/2021).

Ia menambahkan, hal seperti ini memang lumrah di platform seperti YouTube, termasuk Facebook.

Ismail mencontohkan, Facebook mendapat keuntungan dari konten yang memecah belah, seperti saat momen pemilihan presiden karena konten semacam itu tersirkulasi sangat tinggi dan membuat orang mengakses Facebook lebih sering, sehingga berimbas juga ke iklan yang ditampilkan.

"Jadi, setiap platform itu mendapat untung dari konten negatif sebenarnya. Karenanya, masyarakat di sini harus kritis dan penegak hukum juga harus tegas," tutur sosok di balik social media analytics, Drone Emprit ini.

Terlebih, ia mengatakan, bahwa penyebaran konten hoaks semacam ini hanya bisa dihentikan dengan tindakan hukum. Dia menilai, tindakan kepolisian saat ini sudah tepat.

Lebih lanjut, Ismail mengatakan, konten hoaks atau fitnah seperti Aktual TV ini memang kerap dibuat karena bisa menghasilkan view yang tinggi. Selama ini, menurut Ismail, banyak pembuat hoaks atau fitnah merasa aman karena tidak pernah diproses, sehingga langkah penangkapan ini bisa menghentikan aksi serupa.

"Segala konten yang sifatnya kontroversial, fitnah, dan menimbulkan polarisasi itu menghasilkan kunjungan yang tinggi. Dan hal ini berdampak negatif pada masyarakat yang kian terpolarisasi," tuturnya menutup perbincangan.


Pengungkapan Kasus Hoaks Aktual TV

Ilustrasi channel Youtube Aktual TV. Kepolisian telah menangkap tiga orang terkait penyebaran hoaks dan konten provokatif di saluran Youtube Aktual TV. Salah satu tersangka merupakan bos TV swasta di Bondowoso, Jawa Timur. (Liputan6.com/Nafiysul Qodar)

Sebelumnya, jajaran Polres Metro Jakarta Pusat menangkap Direktur PT PT Bondowoso Salam Visual Nusantara Satu (BSVNS) berinisial AZ terkait kasus dugaan penyebaran hoaks. Pemilik siaran TV lokal di Bondowoso itu ditangkap bersama dua anak buahnya berinisial M dan AF.

Kepolisian memastikan, penangkapan itu tidak terkait dengan BSTV Bondowoso milik PT BSVNS, melainkan berkaitan dengan konten hoaks dan provokatif di channel Youtube, Aktual TV.

"Ada konten yang dia buat di YouTube namanya Aktual TV. Ini tidak terdaftar di Dewan Pers," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat 15 Oktober 2021 lalu.

AZ merupakan pemilik saluran Aktual TV sekaligus berperan sebagai pembuat ide dan editor konten di dalamnya. Sementara tersangka M berperan sebagai content creator dan uploader. Sedangkan AF berperan sebagai pengisi suara dalam video-video yang diunggah di channel YouTube tersebut.

Yusri menyebut, motif sementara pembuatan dan penyebaran konten hoaks di Aktual TV adalah ekonomi. "Tujuannya mencari keuntungan," ungkapnya.

Kapolres Metro Jakarta Pusat, Kombes Hengki Haryadi menyebut, keuntungan yang diperoleh para tersangka dari menyebarkan konten hoaks dan provokatif di Aktual TV sangat fantastis, mencapai Rp 2 miliar.

Para tersangka diketahui telah beraksi selama delapan bulan belakangan. Selama itu, total ada 765 konten video hoaks yang diunggah para tersangka. Mereka berhasil meraup keuntungan dari AdSense YouTube.

"Dari hasil pemeriksaan mereka ternyata meng-upload konten ini dengan tujuan materi. Dalam kurun waktu delapan bulan mereka mendapatkan AdSense YouTube Rp 1,8 sampai Rp 2 miliar," kata Hengki.

Hengki membeberkan, sejumlah konten video yang diunggah oleh para tersangka di akun YouTube Aktual TV berisi narasi hoaks, kebencian, dan mengadu domba. Beberapa di antaranya berjudul 'Gabungan POM TNI & Propam Segel Rumah Dudung Abdurrahman' dan 'Purn. TNI Turun Gunung Kerahkan Prajurit Kepung Mabes Polri'.

"Ini adu domba di era digital, menimbulkan keonaran dalam rangka mencari keuntungan pribadi," beber Hengki.

Dalam kasus ini, para tersangka dijerat dengan Pasal 14 Ayat 1 dan Ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana dan atau Pasal 28 Ayat 2 juncto Pasal 45 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE.


Infografis Sebar Hoaks demi Raup Untung di YouTube

Infografis Sebar Hoaks demi Raup Untung di YouTube. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya