Cerita Akhir Pekan: Asal-usul Sambal di Indonesia

Sambal di Indonesia awalnya dijelaskan tidak memakai cabai yang sekarang dikenal luas.

oleh Asnida Riani diperbarui 23 Okt 2021, 10:00 WIB
Sambal hijau. (dok. Cookpad @irinesebastian)

Liputan6.com, Jakarta - Tidak genap rasanya jika membicarakan kuliner Indonesia tanpa menyebut sambal. Dengan catatan lebih dari 300 jenis, baik dalam versi matang maupun mentah, sambal jadi sebagai salah satu identitas sajian lokal.

Kehadirannya tentu tidak lepas dari eksistensi cabai. Menurut sejarawan Wijaya setidaknya ada dua versi asal mula rempah ini di Indonesia. Ia menyebut, merujuk pada teks Ramayana dalam buku Pasar di Jawa Masa Mataram Kuno Abad VII-XIV karya arkeolog Titi Surti Nastiti, cabai sudah eksis di pasar Nusantara sejak abad ke-10.

"Selain cabai jawa, ada juga andaliman (sejenis tanaman merica) Sumatra Utara yang cukup terkenal, walau itu (andaliman) bukan dalam bentuk cabai, tapi cita rasa yang diberikan mirip," katanya melalui sambungan telepon pada Liputan6.com, Kamis, 21 Oktober 2021.

Sementara dalam konteks sejarah Barat, cabai baru dibawa ke Indonesia pada abad-16 oleh para pedagang Portugis. Ketua Yayasan Negeri Rempah Dewi Kumoratih Kushardjanto menjelaskan, dalam hal ini, tempat asal tumbuhnya cabai diyakini di wilayah Amerika Selatan, termasuk Bolivia dan Meksiko.

"Tanaman cabai tumbuh di daerah yang dilintasi garis khatulistiwa," ujarnya lewat pesan Jumat, 22 Oktober 2021.

Sebelumnya, Kumoratih menjelaskan, jahe, lada, dan cabai jawa adalah jenis rempah yang dipakai untuk memberi rasa pedas pada olahan kuliner Nusantara. "Jawa Barat, Lampung, Sumatra Barat, dan Nusa Tenggara Barat dikenal sebagai wilayah penghasil cabai," imbuhnya.

Cabai jawa disebutnya berbeda dari cabai yang dikenal sekarang. Pasalnya, ketika kolonialisme Eropa terjadi di Indonesia, ini juga membawa banyak perubahan. Selain aspek sosial budaya, pengaruhnya juga lekat pada budi daya pangan.

"Ekspansi Eropa ke Nusantara itu juga dalam rangka akumulasi resources berupa komoditas pangan. Jadi daerah koloni itu juga jadi perluasan lahan untuk budi daya berbagai komoditas yang menguntungkan. Sama seperti ketika bibit rempah kita kemudian dibawa untuk dibudidayakan di Zanzibar atau Grenada," paparnya.

Karena itu, tidak heran jika "cabai impor" ini kemudian populer. "Karena pada dasarnya orang Nusantara juga sudah mengenal rasa pedas, meski pedasnya bersumber dari rempah yang berbeda," imbuh Kumoratih.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Pengganti Rempah Asli

Ilustrasi sambal bawang | nindriany17 dari Instagram

Wijaya menjelaskan, cara menanam cabai yang cenderung mudah, yang mana tidak perlu perawatan khusus, apalagi lahan luas, juga berkontribusi dalam melejitnya popularitas tanaman rempah tersebut. Varietasnya kemudian menawarkan tingkat kepedasan yang berbeda-beda.

"Tapi rupanya 'cabai impor' ini dirasa lebih nendang pedasnya, sehingga kemudian jadi bahan yang umum digunakan untuk sambal," ucap Kumoratih.

Sebelum cabai ngetop di Nusantara, sambungnya, rasa pedas cenderung memanfaatkan rempah asli. "Jadi sambal pecel itu ada kencurnya, ada jahenya, dan seterusnya. Lalu, bahan utamanya bisa jadi adalah kacang," paparnya.

"Kita kan kenal banyak jenis sambal kacang atau bumbu kacang. Nah, begitu cabai bisa menambah kepedasan dan cocok dengan selera lidah lokal, ya dengan sendirinya itu jadi populer," imbuh Kumoratih.

Wijaya menyambung, kolonialisme tidak hanya mengeksploitasi sumber daya alam, tapi juga sumber daya manusia. "Dalam prosesnya ada interaksi yang kemudian membentuk klasifikasi status sosial," katanya.

Namun, tidak seperti makanan lain, dalam konsumsi sambal, tidak ada status sosial tertentu yang dipertimbangkan. "Semua bisa makan sambal, dari orang Eropa, Tionghoa, bangsawan Nusantara, hingga rakyat jelata," kata Ketua Umum Pengurus Pusat Forum Komunikasi Guru IPS Nasional Persatuan Guru Republik Indonesia tersebut.


Diadopsi Sesuai Tradisi Lokal

Sambal mangga muda Waroeng Spesial Sambal (SS). (Liputan6.com/Asnida Riani)

Sambal kemudian diadopsi sesuai tradisi makan di masing-masing daerah. "Sambal matah khas Bali, misalnya," kata Wijaya. "Karena dibuat dengan cara diiris, itu mencerminkan kesederhaan, proses pembuatan singkat, mengurangi proses memasak."

Masih dalam catatan tradisi, Wijaya menyebut, sambal pun lekat dengan hukuman. "Kalau pernah dengar orangtua memarahi anak nakal dengan menggeretak mulutnya akan diberikan sambal, itu juga bentuk kebiasaan yang berkembang," ucapnya.

Biasanya, ia menjelaskan, itu terkait adab anak berbicara pada orang lebih tua. "Pedasnya sambal itu dianggap sebagai representasi tingkat kekesalan orangtua pada anaknya," Wijaya menyebut.


Infografis Diplomasi Lewat Jalur Kuliner

Diplomasi Lewat Jalur Kuliner (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya