Liputan6.com, Jakarta - Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Alat Penyegar Kementerian Perindustrian Edi Sutopo mengatakan bahwa sebanyak 4 ribu tenaga kerja industri rokok mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hal ini salah satunya akibat kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) pada 2020.
“Sebagai pembina industri, kami mencatat pada 2020 sebanyak 4 ribu lebih tenaga kerja industri rokok di-PHK,” kata Edi dikutip dari Antara, Sabtu (23/10/2021).
Advertisement
PHK itu, menurut Edi, terjadi karena produksi industri rokok menurun. Meskipun demikian, konsumen sebetulnya tidak benar-benar mengurangi konsumsi rokok, melainkan menurunkan golongan rokok yang dikonsumsi, hingga beralih pada rokok tingwe (linting dewe/linting sendiri) atau rokok ilegal.
“Elastisitas konsumsi rokok itu relatif kecil, jadi ada shifting dari konsumsi rokok golongan tinggi ke golongan rendah, termasuk ke tingwe dan ilegal. Ini berdampak negatif terhadap kesehatan tapi negara tidak dapat apa-apa,” ucapnya.
Menurut Edi, kenaikan tarif CHT juga membuat tembakau petani tidak dapat terserap industri karena permintaan rokok menurun. Karena itu, ia mengatakan akan melakukan kajian bersama kementerian dan lembaga lain agar kenaikan CHT tidak terdampak negatif terhadap pelaku industri.
“Dari sisi buruh pabrik saja ada 600 ribu yang terserap industri rokok, jutaan petani tembakau dan cengkeh, dan ada tenaga distribusinya juga,” katanya.
Di samping itu, kenaikan CHT juga perlu dilakukan dengan mempertimbangkan penerimaan negara. Pasalnya, apabila CHT naik sampai mengurangi konsumsi rokok, penerimaan negara juga bisa berkurang.
“Industri rokok berkontribusi kurang lebih 11 persen terhadap APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara),” ucapnya.
Sementara itu, terkait simplifikasi tarif CHT, Edi memandang 10 lapisan tarif CHT yang ditetapkan mulai 2018 lalu sudah cukup sederhana. Pada 2009 lalu, tarif CHT bahkan mencapai 19 lapisan.
Ia khawatir apabila disederhanakan lagi, industri kecil dan menengah rokok akan berhadapan langsung dengan industri besar hingga tidak mampu bersaing. Di samping itu, negara juga berpotensi kehilangan pendapatan karena konsumen akan lebih memilih membeli rokok ilegal.
“Dengan struktur yang lebih simpel, tarif cukai rokok yang paling rendah akan meningkat sehingga harganya pun meningkat. Jarak harga rokok yang paling rendah akan lebih lebar dibandingkan rokok ilegal sehingga masyarakat berpotensi lebih memilih rokok ilegal,” terangnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Simplifikasi Rugikan Negara
Pengamat Ekonomi Imaninar mengatakan, kebijakan kenaikan harga jual eceran (HJE) dan kenaikan cukai rokok selama ini faktanya lebih berdampak negatif pada industri hasil tembakau (IHT) daripada penurunan angka prevalensi merokok. Berdasarkan hasil penelitian, menunjukan bahwa kenaikan tarif cukai dan HJE rokok dalam jangka pendek dan panjang dapat berdampak negatif terhadap keberlangsungan IHT.
“Kenaikan harga rokok secara langsung memicu semakin meningkatnya peredaran rokok ilegal yang selanjutnya berdampak pada keberlangsungan IHT. Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa setiap 1 persen kenaikan harga rokok ilegal berdampak signifikan terhadap penurunan jumlah pabrikan rokok sebesar 0,48 persen dalam jangka panjang," ungkap dia.
"Terlebih, hasil kajian juga menunjukkan bahwa kenaikan rokok ilegal dapat mengancam keberlangsungan pabrikan rokok dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Setiap 1 persen kenaikan jumlah peredaran rokok ilegal berdampak signifikan terhadap penurunan jumlah pabrikan rokok sebesar 2,9 persen dalam jangka pendek. Lebih lanjut, setiap 1 persen kenaikan harga rokok ilegal berdampak signifikan terhadap penurunan jumlah pabrikan rokok sebesar 0,48 persen dalam jangka Panjang,” papar Imaninar.
Dia juga menegaskan, negara dan masyarakat akan lebih dirugikan lagi apabila pemerintah menerapkan kebijakan simplifikasi cukai. Ratusan industri rokok kelas menengah bawah akan mati. Itu berarti negara akan kehilangan pendapatan dari cukai rokok dan pajak pajak lainnya yang dihasilkan dari sektor IHT imi.
Selain itu, otomatis, ribuan tenaga kerja di sdktor IHT akan kehilangan lapangan pekerjaan. Karena itu, di masa pendemic yang diikuti resesi ekonomi ini Imaninar meminta pemerintah tidak mengambil keputusan menaikan dan melakukan simplifikasi tier cukai rokok.
“Kerugian (dari simplifikasi tier cukai rokok) adalah akan banyak pelaku industri kecil dan menengah, pabrikan rokok golongan II dan golongan III yang tidak mampu mempertahankan industrinya . Hal ini ditunjukkan dengan penurunan jumlah pabrikan rokok yang terus terjadi dan kini hanya 10 persen saja dari jumlah pabrikan rokok di tahun 2007 yang mampu bertahan. Sebagian besar produsen yang terdampak langsung atas kebijakan simplifikasi golongan dan kenaikan tarif cukai adalah produsen rokok golongan II dan golongan III,” jelas Imaninar.
Advertisement