Liputan6.com, Jakarta - Penelitian dan pengalaman di sejumlah negara menyatakan produk tembakau alternatif dapat menurunkan angka perokok global. Asalkan, produk tembakau alternatif didukung dengan regulasi yang berlandaskan kajian ilmiah.
Direktur Eksekutif Center for Youth and Population Research Dedek Prayudi, mengatakan pembentukan regulasi untuk mengatur produk tembakau alternatif memang harus berlandaskan kajian ilmiah.
Advertisement
“Ketika mau diregulasi, yang pertama harus dilakukan adalah uji profil risiko melalui sebuah penelitian. Baru setelah itu dibuat regulasi yang disesuaikan dengan bagaimana produk tembakau alternatif bisa dikonsumsi, menyesuaikan hak-hak (konsumen) dan agar tidak disalahgunakan,” ucap Dedek dikutip Sabtu (23/10/2021).
Dengan hadirnya regulasi berbasis ilmiah, Dedek berharap prevalensi merokok di Indonesia diharapkan dapat ditekan. Dirinya mengakui bahwa produk tembakau alternatif tidak sepenuhnya bebas risiko, namun produk ini dapat dikedepankan oleh pemerintah untuk mengatasi prevalensi merokok karena terbukti memiliki risiko yang lebih rendah hingga 95 persen daripada rokok.
“Yang tidak boleh dilupakan, produk ini harusnya bisa jadi sebuah solusi untuk mengurangi prevalensi dan risiko merokok jika diregulasi dengan tepat,” ungkap dia.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Produk Rokok Elektrik Bisa Bantu Optimalkan Penerimaan Negara
Sebelumnya, tingginya angka prevalensi perokok di Indonesia berpotensi terus menambah masalah terhadap kesehatan publik. Sehingga produk tembakau alternatif dinilai dapat menjadi terobosan baru dalam menurunkan jumlah perokok sekaligus mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor tembakau.
“Produk tembakau alternatif seperti rokok elektrik maupun snus, sejauh ini telah menerapkan konsep pengurangan risiko tembakau (tobacco harm reduction) terhadap kesehatan,” kata Wakil Ketua Yayasan Manusia Welas Asih (Mawas) Dimas Syailendra dikutip dari Antara, Sabtu (11/9/2021).
Ia menjelaskan berdasarkan sejumlah penelitian baik dari dalam dan luar negeri, produk rokok elektrik maupun snus ini disebut lebih rendah risiko hingga 90-95 persen dari pada rokok konvensional.
Sementara dari sisi penerimaan negara, pada 2018 produk tembakau alternatif yang masuk kategori hasil produk tembakau lainnya (HPTL) mencatatkn penerimaan cukai hingga Rp 99 miliar.
Jumlah ini pun mengalami kenaikan 331,1 persen menjadi Rp 427,01 miliar di 2019 dan kembali naik 59,2 persen pada 2020 menjadi Rp 689 miliar.
Namun akibat pandemi Covid-19, penerimaan HPTL turut mengalami penurunan. Hingga Juni 2021, realisasinya hanya Rp 298 miliar, turun 28 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu Rp 415 miliar.
Advertisement