Liputan6.com, Jakarta Belum tayang di bioskop, Yuni sudah jadi bahan perbincangan hangat di kalangan penikmat sinema dan masyarakat Indonesia. Film ini menjadi duta Ibu Pertiwi di Festival Film Internasional Toronto dan menang kategori Platform Prize.
Setelahnya, Yuni dipercaya mewakili Indonesia di seleksi Film Fitur Internasional Terbaik atau dulu dikenal sebagai Film Berbahasa Asing Terbaik di Academy Awards alias Oscar 2022.
Baca Juga
Advertisement
Di Festival Film Indonesia 2021, karya Kamila Andini ini panen 14 nominasi Piala Citra termasuk Film Terbaik. Yuni cerminan keresahan Kamila Andini terhadap nasib perempuan di Indonesia. Berikut resensi film Yuni.
Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Yuni Oh, Yuni
Yuni (Arawinda Kirana) hidup terpisah dari ayah (Rukman Rosadi) dan ibu (Nova Eliza). Ia tinggal bersama nenek (Nazla Thoyib). Hari-hari Yuni habis untuk sekolah dan bergaul dengan teman-teman.
Prestasinya mencuri perhatian Bu Lies (Marissa Anita) yang memperjuangkan Yuni agar tembus kuliah lewat jalur prestasi. Apes, Yuni lemah di mata pelajaran Bahasa Indonesia. Pak Damar (Dimas Aditya) yang mengajar Bahasa Indonesia kerap memberinya PR kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono, Hujan Bulan Juni.
Hampir menyerah, Yuni dibantu teman sekelas, Yoga (Kevin Ardilova). Lantaran cantik, ia dua kali dilamar pria namun ditolak. Masyarakat percaya, dua kali menolak lamaran akan bikin jodoh seret. Masalahnya, referensi pernikahan di lingkungan sekitar Yuni tak ada yang “cling.”
Sahabatnya, Suci (Asmara Abigail) misalnya, menikah saat SMP lalu beberapa kali keguguran karena rahimnya terlalu muda. Bukannya didukung, Suci malah jadi korban KDRT. Kasus ini terekspos, namun Suci diusir dari rumah karena dianggap bikin malu keluarga.
Advertisement
Problem Mendasar
Problem mendasar yang dihadapi Yuni adalah belum tahu apa yang ia mau. Mau kuliah, tapi jurusan apa. Bertanya ke orangtua pun tidak guna. Ibunya yang lulusan SD tiap kali dimintai nasihat ujung-ujungnya malah menyerahkan kembali jawabannya ke Yuni.
Yang dibutuhkan Yuni adalah arahan. Bukan jawaban, “Terserah.” Yuni lalu terpapar beragam informasi dari pengakuan sejumlah sahabat. Selain Suci, ada teman sekolah yang konon hamil di luar nikah. Ada teman yang menikah muda namun hidup terpisah dari suami karena alasan ini-itu.
Lalu terbentuk citra bahwa menikah itu ribet dan deritanya tiada akhir. Referensi yang kelam ditambah rasa penasaran soal seks misalnya, “Seperti apa sih, rasanya ML?” “Perih,” sahut seorang sahabat. Lalu, sahabat curhat bahwa meski perih, ia hanya menahan rasa itu dalam hati.
Alasannya, cewek tak boleh menolak ajakan suami untuk begituan. Perkara orgasme atau tidak, itu urusan nanti. Perempuan harus mahir di dapur, kasur, dan pakai pupur. Katanya. Repot memang jadi perempuan dan Yuni “celakanya” adalah perempuan.
Kesan Pertama...
Kesan pertama menonton Yuni, naskah yang padat, lugas, dan terasa betul bahwa dua penulisnya sedang resah. Resah memikirkan nasib perempuan dalam perputaran zaman yang konon sudah modern. Namun, pola pikir kuno bukannya terkikis malah makin menjamur.
Emak-emak zaman now yang kalau nyanyi berasa kayak diva masih saja mempertanyakan untuk apa sekolah tinggi kalau ujung-ujungnya jadi istri yang tunduk pada suami?
Kamila Andini dibantu Prima Rusdi menuturkan dengan sangat lancar perkara perempuan dan bagaimana ketika ia berhadapan dengan tembok-tembok yang tragisnya dibangun oleh orang-orang di sekitarnya sendiri. Yuni tak sendiri.
Ada Bu Lies yang terbelenggu sistem pendidikan “berbasis” patriarki. Lies yang sudah dewasa berhasil membuat pilihan untuk bebas. Namun Yuni masih terlalu dini. Ia seperti diayun-ayun oleh sistem sosial. Kadang terlena, kadang hampir nyungsep. Dan Lies, tak berada di lingkar pertama Yuni.
Advertisement
Performa Arawinda Kirana
Naskah Kamila dan Prima menggarisbawahi ujaran jadul yang menyebut bahwa menyelamatkan seorang wanita berarti menyelamatkan sebuah generasi. Yuni terlepas dari ending-nya yang bisa dimaknai beragam, menggambarkan betapa sempitnya pola pikir orang-orang di sekitar tokoh utama.
Lupa memandang lebih jauh dan lebih senang menyelesaikan atau menjemput yang di depan mata. Padahal, mata, hati, dan pikiran semestinya memungkinkan manusia khususnya wanita memandang jauh dan melihat lebih detail.
Arawinda Kirana membawakan karakter Yuni dengan penuh kegelisahan. Diamnya adalah berpikir. Perilakunya adalah bentuk pencarian jati diri dan keinginan mencoba banyak hal berdasarkan keingintahuan.
Ngerinya Dimas Aditya
Dua bintang lain yang bermain cerlang adalah Asmara Abigail yang “hore” banget. Ia adalah simbol ironi dalam masyarakat kita yang kerap memilih tumpul. Penampilan Suci bak diva jalanan, kontras dengan nasib yang merundungnya.
Posisinya dalam dunia Yuni sangat penting, untuk membuka lebih banyak kemungkinan dari pernikahan yang belum waktunya. Namun monster paling mengerikan dalam dunia Yuni diperankan dengan genuine oleh Dimas Aditya.
Penampilannya tenang namun mengisyaratkan banyak lapisan emosi. Jati dirinya serumit labirin. Pola pikirnya manipulatif. Anda harus menonton sendiri di layar lebar bagaimana Dimas menerjemahkan dengan sangat apik sekaligus meyakinkan tokoh Damar.
Advertisement
Karya Kamila Paling Komunikatif
Yuni, sejauh ini, adalah karya Kamila Andini yang paling komunikatif, enak diikuti, dan kalau meminjam istilah orang Jawa, terasa semeleh lan laras. Ada banyak gugatan yang terlontar lewat dialog dan kondisi-kondisi. Misalnya, saat membahas masa depan eh, mati lampu.
Yuni menepis minornya film Indonesia berbahasa daerah. Sebagai sebuah cermin sosial, ia tak sepenuhnya kelam. Seperti warna ungu, ia bisa berarti (maaf) janda, duka, kemewahan, kreativitas, keberanian dan eksotis. Yuni sebagai film maupun karakter merefleksikan filosofi ungu yang dimaksud.
Ada semburat duka di sana. Ada kreativitas dan keberanian dalam mencari yang ia mau. Dan tak mungkin tak eksotis mengingat Yuni dua kali dilamar laki-laki dan masuk ke ajang festival berkali-kali. Yuni film penting. Anda harus menontonnya agar lebih respek pada perempuan dan diri sendiri.
Pemain: Arawinda Kirana, Kevin Ardilova, Dimas Aditya, Marissa Anita, Asmara Abigail, Nazla Thoyib, Neneng Wulandari, Nova Elisa, dan Rukman Rosadi
Produser: Ifa Isfansyah, Chand Parwez Servia
Sutradara: Kamila Andini
Penulis: Prima Rusdi, Kamila Andini
Produksi: Fourcolours Films, Starvision Plus, Akanga Film Asia, Manny Films
Durasi: 1 jam, 35 menit