Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengingatkan jika krisis ekonomi yang terjadi akibat pandemi Covid-19 bukan merupakan akhir dari krisis yang akan dihadapi banyak negara.
Krisis ekonomi ini bukan pertama dan kemungkinan bakal ada lagi dengan kondisi yang berbeda. "Saya sampaikan pandemi Covid-19 ini bukan yang pertama, dan bukan yang terakhir," kata Sri Mulyani dalam acara Peluncuran Buku di Jakarta, Minggu (24/10/2021).
Dalam pertemuan G20 minggu depan dilangsungkan di Roma, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama dengan kepala negara lainnya akan sama-sama belajar mengantisipasi penanganan krisis seperti terjadi di 2008-2009. Ini agar kemudian hari ketika terjadi krisis negara-negara bisa lebih banyak belajar.
Baca Juga
Advertisement
"Mereka akan melihat mekanisme dunia menghadapi[ krisis]( 4684409 "") yang bisa menjalar secara mudah, dan bisa menimbulkan sistemik impact, karena tidak hanya kesehatan saja, atau neraca pembayaran atau bank saja, tapi bisa ada domino effect-nya," tutur dia.
Bendahara Negara itu memahami, kadang mekanisme antar negara masih lemah. Bahkan di dalam negara pun demikian juga bisa lemah.
Sebab itu, dalam pertemuan G20 di Roma lebih banyak membahas mengenai kerja sama penanganan krisis yang sifatnya antar negara.
"Tapi dampaknya tidak diskriminatif. Semua negara mau miskin, kaya, barat, timur, komunis, kapitalis, semua bisa kena. Dan persoalannya adalah antarnegara ada mekanisme untuk saling mengurangi kemungkinan transmisi krisis ini? Makanya kebijakan multilateral sangat penting," tandas dia.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Indonesia Krisis, Ujungnya Keuangan Negara Tanggung Beban
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati kembali menceritakan kilas balik saat Indonesia terlanda krisis ekonomi beberapa kali. Yakni saat krisis pada 1998, dan 2008, dan 2021 saat menghadapi pandemi Covid-19.
Dia menyebut, ada kesamaan dari ketiga krisis yang melanda Indonesia. Di mana, ujungnya keuangan negara sebagai penyelamat dari krisis.
“Ujungnya itu keuangan negara yang menampung semua beban, neraca pembayaran, moneter perbankan, sistem keuangan, sektor riil kontraksi sampai minus 13 persen, inflasi hingga menyentuh di 75 persen, kemudian kenanya adalah keuangan negara karena yang mem-bail out seluruh sistem keuangan negara,” ujar Sri Mulyani di Jakarta, Minggu (24/10/201).
Sri Mulyani membeberkan awal mula terjadinya krisis moneter yang puncaknya terjadi pada 1998. Krisis berawal dari negara Asia Tenggara dan Asia Timur.
Dengan koreksi yang sangat dalam terhadap nominal, sehingga menimbulkan efek domino terhadap perusahaan dan perbankan. Banyak perusahaan dan bank yang meminjam pendanaan dengan dolar, begitu nilai tukar yang meningkat, nilai utangnya juga meningkat.
“Anda bisa bayangkan yang tadinya utang (dengan nilai tukar per dolar AS) Rp 2.500, jadi Rp 5.000, jadi Rp 10 ribu, dan jadi Rp 17 ribu bahkan, maka nilai utang itu jadi berlipat ganda. Jadi penerimaan dari bentuk rupiah tak mampu bayar kembali (utang),” jelas dia.
“Maka kalau dilihat krisis pertama ini neraca keuangan negara dengan krisis keuangan bank dan korporasi yang terkena duluan,” tambahnya.
Dengan demikian terjadi berbagai efek ke sektor riil, dan perbankan sehingga banyak yang kolaps.
Menkeu menyebut Indonesia saat itu masuk dalam program IMF dalam pemulihan ekonomi yang memiliki peran cukup besar terhadap bangkitnya ekonomi saat itu.
Jadi, memunculkan berbagai permasalahan dari mulai banyak orang yang tak memiliki pekerjaan, berdampak ke sosial ekonomi, hingga ke ranah politik dengan adanya reformasi.
Advertisement