Liputan6.com, Jakarta - Kasus eksploitasi seksual anak bisa terjadi di mana saja. Beberapa kasus melibatkan hotel sebagai lokus kejadian. Hal itu tentu tak hanya akan merugikan korban, tetapi juga mencoreng citra hotel di mata tamu lainnya.
Menyadari hal itu, Archipelago Internasional yang membawahi sejumlah brand hotel mengambil tindakan antisipatif dengan mengintegrasikan perlindungan pada anak dalam kebijakan internal mereka. Ia mengatakan grup hotelnya telah bergabung dengan The Code of Conduct for The Protection of Children From Sexual Exploitation in Travel and Tourism.
Selain menggelar pelatihan bagi para karyawan, jejaring hotel itu juga menyiapkan SOP untuk mencegah terjadinya kasus eksploitasi anak di sekitar 150 hotel mereka.
Baca Juga
Advertisement
"Ada dua hal yang akan membuat karyawan pasti dipecat, pertama segala hal yang berkaitan dengan uang dan berkaitan dengan eksploitasi seksual atau pelecehan seksual," ujar Winston Hanes, VP Operation Archipelago International, dalam webinar Menata Pariwisata Berkelanjutan Ramah Anak dalam Agenda Pemulihan Sektor Travel & Tourism Pasca Pandemi Covid-19, Jumat, 22 Oktober 2021.
Pihaknya juga menugaskan staf sebagai Child Safety Officer. Mereka wajib mengikuti prosedur yang ditetapkan, salah satunya dengan meminta tamu menunjukkan dokumen sah bila mereka akan menginap bersama anak berusia di bawah 18 tahun. Dokumen bisa berupa akta kelahiran, paspor, atau identitas lainnya.
Jika gagal memenuhi syarat tersebut, tamu tersebut tidak diperkenankan menginap di hotel tersebut. Pihak hotel juga berhak untuk menolak permintaan tamu tersebut untuk mereservasi penginapan lain. Kalau pun ada kecurigaan kuat, pihak hotel bisa menghubungi otoritas berwenang untuk melaporkan dugaan tersebut.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Kesadaran Anak
Dalam rilis yang diterima Liputan6.com, hasil pemetaan cepat terhadap kasus pornografi anak yang dilakukan ECPAT Indonesia pada 2021 ditemukan kasus pornografi anak di Kota Bandung yang proses produksinya melibatkan bisnis pariwisata, yaitu hotel. Pada kasus pornografi anak di Kota Bandung diketahui predator seksual anak berasal dari lima negara, yaitu Kanada, Polandia, Rusia, Spanyol dan Belanda.
Pemanfaatan teknologi dalam kasus eksploitasi seksual anak ini turut mengubah modus para predator seksual anak dalam proses transaksinya. Mereka memanfaatkan bitcoin untuk bertransaksi.
Terkait kerentanan ini, Hanes mengingatkan pentingnya membangun kesadaran anak tentang bahaya eksploitasi seksual di sekitar mereka. Pasalnya, ia kerap menemukan kasus yang menunjukkan anak-anak muda tak mengerti bahwa mereka terlibat dalam kasus eksploitasi seksual.
"Para pemangku kepentingan yang bertanggung jawab atas media sosial juga harus berperan, (karena) media sosial mengubah anak muda memandang dirinya dan melihat seks," tambahnya.
Advertisement
Belum Jadi Mandatori
Sementara itu, Program Manager ECPAT Indonesia Andy Adrian mengatakan celah ekploitasi anak di sektor pariwisata masih terbuka mengingat penerapan kebijakan ramah anak belum menjadi mandatori. Karenanya, ia meminta agar semua pemangku kepentingan terlibat dalam upaya menciptakan bisnis pariwisata ramah anak.
"Harapan kita bisa berkolaborasi dalam program Down to Zero. Kita punya satu bagian di mana kita bisa berkolaborasi untuk memberi training atau sosialisasi kepada sektor industri. Kami buka kesempatan mulai Oktober sampai Januari nanti," ujarnya.
Komisioner KPAI Putu Elvina menambahkan bahwa para pelaku usaha harus memahami hak-hak anak dan perspektif perlindungan untuk menciptakan pariwisata berkelanjutan ramah anak. Di samping, wali anak pun harus diberdayakan agar mereka mampu melindungi anak-anak mereka secara maksimal.
6 Tips Lindungi Diri dari Pelecehan Seksual
Advertisement