Liputan6.com, Jakarta - Awalnya, menjadi seorang jurnalis bukan merupakan cita-cita seorang Desi Anwar. Menjalani masa kecil di Inggris, membuatnya tahu satu fakta bahwa negara tersebut menganggap profesi politikus dan jurnalis adalah dua profesi yang paling tidak pernah dilirik. Politikus dianggap sebagai profesi pembohong dan lainnya dianggap profesi atau pekerjaan yang tak memiliki empati terhadap orang lain.
Meski begitu, dorongan rasa ingin tahu yang tinggi memantik dirinya menjadi lebih mantap memilih jurnalis sebagai pilihan karir. Ini adalah pilihan profesi yang paling cocok baginya yang suka bertanya dan bisa memenuhi keingintahuannya yang terlampau tinggi.
Advertisement
"Ada kepuasan batin ketika saya ingin tahu akan satu hal, lalu menggalinya sendiri, dan menemukan jawabannya dengan usaha sendiri bukan hasil pemberian orang lain begitu saja,” ujarnya pada Liputan6.com melalui wawancara yang difasilitasi oleh Tim Media Ubud Writers and Readers Festival 2021, Kamis (21/10/21).
Simak video pilihan berikut ini:
Esensi Profesi Jurnalis
Baginya, jurnalis adalah seseorang yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap satu hal. Mengapa, apa, dan bagaimana, kemudian menjadi alat utama seorang jurnalis dalam mengulik permasalahan dan hal-hal menarik di sekitarnya.
"Pantang bagi seorang jurnalis untuk berasumsi. Sayangnya, manusia kerap melakukannya karena dirasa paling mudah. Asumsi akan membuat seorang jurnalis loncat terhadap konklusi tanpa berusaha menelisik kebenaran," tegas perempuan yang sudah 22 tahun berprofesi sebagai seorang pembawa acara berita.
Peran Orangtuanya
Sosok Khaidir Anwar, sang Ayah sangat memengaruhi perkembangan jiwa seorang Desi Anwar. Ayahnya merupakan seorang ahli sosiolinguistik dan pernah mengajar selama 20 tahun di Universitas London, Inggris. Latar kedua orangtuanya yang merupakan seorang akademisi dan ilmuwan membuatnya menjadikan pengetahuan sebagai hal yang amat penting dan begitu dijunjung tinggi.
"Banyak dan luasnya pengetahuan yang kita miliki memengaruhi kejernihan berpikir kita. Lebih mendekati kebenaran, karena kadang kebenaran itu bersifat subjektif," katanya menegaskan.
Ibunya bekerja di perpustakaan. Setiap hari pulang membawa buku bacaan yang beraneka ragam. Sejak itulah buku menjadi bagian masa kecilnya. Dia temukan kebahagiaan dari bahan bacanya. Happy moment saat membaca, lalu tenggelam di dalamnya.
"Buku yang menarik dapat membuat saya hilang, tenggelam, dan melebur dalam dunia khayalan yang diciptakan oleh semesta penulis," tutur perempuan yang pernah memperoleh penghargaan Panasonic Award itu.
Advertisement
Peran Seorang Jurnalis
Jurnalis, wartawan, atau pewarta adalah seorang perantara. Profesi yang bertugas menghadirkan ragam perspektif yang diperoleh dari pakar serta sumber-sumber yang kompeten di bidangnya. Jurnalis harus mengeluarkan dirinya dari apa yang ditulis dan berusaha melihat sesuatu lebih jernih. Perspektif itulah yang kemudian akan dapat membantu seseorang dalam mengambil keputusan yang bijak dan tepat. Perspektif dapat lahir dari penelusuran bergantung dari jumlah dan kualitas informasi yang didapati seorang jurnalis.
"Kita hadirkan sebuah informed opinion. Informasi berdasrkan pengetahuan yang benar," ucap pembawa acara Insight with Desi Anwar.
Pastikan Tujuan
Dalam mengangkat satu kejadian, seorang jurnalis laiknya menanyakan pada dirinya apa tujuannya menulis atau memberitakan satu hal. Apakah untuk melihat reaksi, ajang gosip, atau ingin memberikan informasi positif mencerahkan.Semuanya kembali pada niat si pewarta.
"Tentunya bukan sekadar mengejar sensasi dan rating tinggi,"dia menegaskan.
The Art of Solitude tentang Kontemplasi ke Dalam Diri
The Art of Solitude: Apa yang Kita Pikirkan Ketika Kita Sendirian adalah buku terbaru miliknya yang terbit pada 13 Januari 2021.
Dalam Webinar bersama Abu Marlo, Dialogue Positive with Desi Anwar, Senin (18/10/21), dijabarkannya perihal The Art of Solitude, arti kesendirian, pentingya manusia meluangkan waktu untuk sendiri. Mencari waktu untuk mendengarkan dan lebih mengenal dirinya.
Menurut, Desi Anwar, pandemi meminta manusia untuk menjaga jarak dengan orang lain dan lebih banyak berdiam di rumah. Satu hal ini dipandang berbeda olehnya. Bagi Desi Anwar, inilah momen terbaik untuk lebih dekat dengan diri. Sosok yang justru sering diabaikan karena sibuk berinteraksi dengan dunia di luar diri. Sendiri, Desi menambahkan, bukan berarti kesepian.
Menghabiskan waktu sendirian adalah kesempatan langka dan tak ternilai untuk menemukan hakikat diri yang sebenarnya. "Kita juga dapat mengajukan pertanyaan mendasar tentang kehidupan dan keberadaan yang mungkin selama ini kita anggap remeh atau jarang kita pikirkan," dia berujar.
Dalam buku yang berisi kumpulan renungan dan pikiran acak yang ditangkap selama masa pandemi, Desi Anwar mencoba menunjukkan bahwa kesendirian bukanlah siksaan atau penderitaan yang harus ditakuti dan dihindari. Apabila dinikmati secara utuh, kesendirian menjadi seni yang mencerahkan sekaligus menyembuhkan.
Selama ini, manusia terlalu terdistraksi oleh banyak hal seperti gawai dan media sosial. Untuk itu, perlu sesekali detoks digital untuk menganalisis apa saja yang sudah dilakukan dalam hidup. Setiap manusia punya kapasitas untuk melihat ke dalam dirinya. Ini adalah alat yang paling ampuh, dan membuat manusia lebih memahami tentang kehidupan dan tahu apa yang ingin dicapai.
"Seringkali ada yang tersadar dan merasa salah jurusan, tak nyaman dengan profesi yang dilakukan. Salah satunya disebabkan karena kurangnya waktu untuk kontemplasi ke diri sendiri," tuturnya.
Advertisement
Caranya Meng-Upgrade Diri
"Melihat pencapaian orang lain di media sosial, kerap memicu rasa iri. Namun, kita lupa bahwa pencapaian itu adalah hasil bagi mereka yang berfokus pada apa yang dicita-citakan," ujarnya berpesan.
Mereka yang tidak mindful dan tidak fokus, Desi melanjutkan, menjadi pertanda kalau tak cukup mengenal dirinya. Self-reflection atau refleksi ke dalam diri bisa jadi satu cara untuk lebih mengenal dan tahu apa yang diinginkannya.
Pesan Seorang Desi Anwar untuk Pewarta
"Belajar, belajar, belajar," ujarnya pada pewarta. Seorang jurnalis tak boleh berhenti belajar. Jika memiliki suatu opini, telusuri terlebih dahulu, jangan berasumsi. Jurnalis harus punya empati.
"Open minded dan rajin membaca. Karena ini akan membuat kita punya alasan rasional bukan emosional.”
Embrace semua hal, mau melihat dari sudut pandang lain. Karena belum tentu opini berbeda menyerang jurnalis. Untuk itu, jurnalis harus mau mendengar dan mengamati dengan pancaindra. "Fungsi kita sebagai jurnalis adalah menerangi bagian yang masih gelap," dia memungkasi.
Advertisement