Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi tidak dapat menerima Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal tersebut disampaikan dalam persidangan yang digelar pada Rabu (27/10/2021) kemarin secara daring.
"Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima," ucap Ketua MK Anwar Usman saat membacakan Putusan Nomor 39/PUU-XIX/2021 tersebut seperti dikutip dari laman mkri.id.
Advertisement
Berdasarkan pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Hakim Konstitusi Saldi Isra, Mahkamah menyatakan bahwa para Pemohon sebagai ASN yang memiliki jabatan di pemerintahan. Akan tetapi, dalam sidang perbaikan permohonan menyampaikan bahwa jabatan para Pemohon adalah kepala seksi.
Hal tersebut tidak terdapat bukti yang dapat meyakinkan Mahkamah bahwa para Pemohon adalah ASN yang memiliki jabatan di pemerintahan. Menurut Mahkamah, secara yuridis, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 5/2014), berdasarkan ketentuan Pasal 14 UU 5/2014, jabatan kepala seksi merupakan jabatan eselon IV setara dengan jabatan pengawas yang merupakan kelompok Jabatan Administrasi.
"Seandainya pun para Pemohon memang benar pejabat dalam jabatan pengawas, mestinya selain para Pemohon menunjukkan bukti sebagai ASN juga melampirkan Surat Keputusan mengenai kedudukannya sebagai pejabat di pemerintahan. Terlebih lagi para Pemohon dalam permohonannya tidak pernah menguraikan bahwa para Pemohon akan mencalonkan diri sebagai anggota KPU/Bawaslu," ujar Saldi.
Dengan demikian, sambung Saldi, berdasarkan uraian fakta hukum di atas, menurut Mahkamah, para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan a quo.
"Meskipun Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo, namun oleh karena para Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk bertindak sebagai Pemohon, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan permohonan provisi dan pokok permohonan lebih lanjut," tandas Saldi.
Sebelumnya, Siti Warsilah dan Evarini Uswatun Khasanah yang merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) mengajukan uji materiil aturan mengenai ASN harus mengundurkan diri jika ingin mendaftarkan sebagai penyelenggara pemilu dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Para Pemohon mempersoalkan norma Pasal 21 huruf j dan Pasal 117 huruf j UU Pemilu. Para pemohon menyampaikan frasa 'mengundurkan diri dari jabatan di pemerintahan pada saat mendaftar sebagai calon' sebagaimana diatur dalam Pasal 21 huruf j dan Pasal 117 huruf j UU Pemilu bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menurut Pemohon, pemaknaan dengan tafsir dari ketentuan Pasal 21 huruf j dan Pasal 117 huruf j UU Pemilu, bahwa subjek hukum yang mencalonkan diri sebagai anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota dan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, dan Panwaslu Kelurahan/Desa serta Panwas TPS, harus mundur dari jabatan di pemerintahan pada saat mendaftar, secara konstitusional pasti merugikan atau setidaknya mengurangi hak konstitusional Pemohon.
Harus Kehilangan Jabatan
Menurut Pemohon kerugian ini bersifat spesifik (khusus) dan aktual, mengingat Para Pemohon adalah seorang ASN dengan jabatan pengawas, bila ikut seleksi sebagai calon anggota KPU/Bawaslu harus kehilangan jabatannya menjadi Pelaksana (staf), padahal dalam proses seleksi oleh Tim Profesional belum tentu terpilih.
Artinya ketika tidak terpilih tetap saja harus kehilangan jabatan di pemerintahan sedangkan untuk bisa menduduki jabatannya kembali seperti sebelum mengundurkan diri, harus melalui proses panjang dan menunggu waktu yang cukup lama. Proses menunggu waktu untuk menduduki jabatan tersebut bisa hilang apabila jabatan yang telah dilepaskan telah diduduki ASN lain.
Lebih lanjut, pemohon juga mengatakan seorang ASN harus mundur dari jabatannya tanpa kehilangan statusnya sebagai ASN apabila ingin menduduki jabatan yang diperoleh melalui pemilu (DPR, DPD, DPRD dan Pilkada) dengan alasan adanya potensi menyalahgunakan jabatan dan wewenangnya dalam pemilu, mengganggu pelaksanaan tugas dan jabatan yang sedang didudukinya karena mengikuti proses tahapan pemilu.
Pengunduran diri dari jabatannya bukan sejak mendaftar akan tetapi setelah melalui rangkaian verifikasi persyaratan sehingga ditetapkan sebagai calon. Dengan demikian, ketentuan a quo dinilai merugikan karena Pemohon merupakan ASN dengan jabatan Pengawas yang harus kehilangan jabatannya dalam seleksi anggota KPU. Padahal, dalam seleksi tersebut, para Pemohon belum tentu terpilih sebagai anggota.
Advertisement