Alasan Wakil Ketua KPK Tak Ikut Raker Bareng Firli Bahuri di Yogyakarta

Pimpinan KPK menggelar rapat kerja (raker) di Hotel Sheraton Mustika, Yogyakarta pada 27 Oktober 2021 hingga 29 Oktober 2021. Raker di Yogyakarta ini mendapat kritikan dan berbagai kalangan masyarakat.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 29 Okt 2021, 11:42 WIB
Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango (ketiga kiri) bersama petugas menunjukkan barang bukti terkait penetapan Menteri Kelautan dan Perikanan, Edhy Prabowo sebagai tersangka kasus dugaan suap calon eksportir benih lobster di Gedung KPK Jakarta, Rabu (25/11/2020). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango menjadi satu-satunya pimpinan lembaga antirasuah yang tak ikut dalam rapat kerja pimpinan dan pejabat struktural di DI Yogyakarta. Nawawi mengaku tak mempersoalkan ketidakhadiran dirinya di Yogyakarta.

"Enggak apa-apa tidak ikut. Saya pikir sebaiknya tetap ada yang standby di kantor. Dan juga memang kemarin saya tidak terlalu fit," ujar Nawawi, Jumat (29/10/2021).

Diketahui, pimpinan KPK menggelar rapat kerja (raker) di Hotel Sheraton Mustika, Yogyakarta pada 27 Oktober 2021 hingga 29 Oktober 2021. Raker di Yogyakarta ini mendapat kritikan dan berbagai kalangan masyarakat.

Raker di Yogyakarta dianggap hanya pemborosan anggaran. Sebab, KPK dinilai sudah memiliki ruangan dan gedung yang memadai untuk menggelar raker.

Sekretaris Jenderal KPK Cahya H. Harefa mengatakan, rapat kerja dilakukan dalam rangka harmonisasi dan penyempurnaan struktur organisasi guna mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi KPK sesuai UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"KPK mengadakan rapat intensif yang melibatkan pimpinan dan jajaran pejabat struktural guna finalisasi rumusan penyesuaian aturan dan struktur organisasi KPK sesuai kedudukan barunya," ujar Cahya dalam keterangan tertulisnya, Kamis 28 Oktober 2021.

Cahya menyebut rapat di Yogyakarta ini sudah diagendakan sejak lama. Proses perencanaan anggaran dan rancangan pelaksanaannya juga sudah digelar sejak lama namun terkendala pandemi Covid-19.

"Pelibatan pimpinan dan para pejabat struktural ini juga penting untuk menyelaraskan seluruh program kerja KPK, membangun kerja sama antar-tim dan unit kerja, yang pada akhirnya bisa menguatkan kinerja kelembagaan," kata dia.


Rapat di Hotel Menuai Polemik

Pekerja membersihkan debu yang menempel pada tembok dan logo KPK di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (21/11). KPK merilis Indeks Penilaian Integritas 2017. (Merdeka.com/Dwi Narwoko)
Rapat kerja kerja di hotel mewah Sheraton Mustika Yogyakarta pada 27 Oktober-29 Oktober 2021, tengah menjadi sorotan. Karena dinilai pemborosan anggaran, dan tak mencerminkan persepsi lembaga KPK.
 
Demikian dikatakan Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Yuris Rezha Kurniawan yang mempertanyakan efesiensi anggaran agensa program prioritaa KPK dibanding raker di hotel mewah tersebut.
 
Menurutnya, membawa banyak pejabat struktural dari Jakarta ke Jogja tentu tidak dengan uang sedikit jika dihitung biaya tiket perjalanan, uang saku perjalanan dinas, biaya penginapan. 
 
"Jika sekedar untuk kegiatan Raker dan Gowes bersama, pertanyaannya apakah ini tidak bisa dilakukan di Jakarta atau sekitarnya?" tanya Yuris saat dihubungi, Jumat (29/10/2021).
 
Menurut dia, dalih dari KPK yang menyebut jika agenda rapat di hotel mewah itu sudah diagendakan sebelumnya. Dia khawatir jika saat ini Komisi antirasuah tersebut tak lunya prioritas perencanaan yang baik.
 
"Pekerjaan rumah dalam hal pemberantasan korupsi masih banyak yang belum terselesaikan. Kami justru akan lebih mengapresiasi ketika KPK datang ke daerah untuk kerja-kerja berjejaring dengan masyarakat sipil dan penegak hukum dalam melakukan pemantauan kasus korupsi misalnya, dibandingkan sekedar Raker yang itu secara substansi bisa dilakukan di Kantor KPK," katanya.
 
Alhasil, Yuris memandang jika fenomena kemewahan yang kerap terjadi di KPK belakangan sudah dianggap sebagai hal biasa. Buat KPK tak bisa mencerminkan kesederhanaan lembaga yang dulu sebagai percontohan bagi lembaga atau kementerian lain.
 
"Fenomena ini juga mengindikasikan sebetulnya KPK sekarang hanyalah lembaga biasa-biasa saja dan tidak lagi bia dijadikan lembaga percontohan," katanya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya