Liputan6.com, Jakarta - Pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dalam Rapat Paripurna DPR RI pada 7 Oktober 2021 lalu rupanya disambut positif oleh mayoritas masyarakat. Kesimpulan ini dipaparkan oleh Continuum Data Indonesia, yang melakukan penelitian opini publik terhadap UU baru perpajakan tersebut di lingkup media sosial (medsos).
Data Analyst Continuum Data Indonesia Natasha Yulian mengatakan, pihaknya telah menganalisis 8.523 pembicaraan di medsos yang diambil pada kurun waktu 4-21 Oktober 2021. Mayoritas atau 70 persen diantaranya datang dari netizen di Pulau Jawa.
"Berdasarkan analisis big data dari percakapan di media sosial, 63 persen masyarakat menyambut positif UU HPP. Ini berarti berdasarkan data yang berhasil kami dapatkan, sebagian besar masyarakat pro terhadap perubahan-perubahan dalam UU HPP," ujarnya dalam sesi webinar, Jumat (29/10/2021).
Sebagai contoh, Natasha menyebut, sekitar 89 persen masyarakat menyambut positif kebijakan baru tarif pajak penghasilan (PPh), yang memperluas target wajib pajak (WP) orang pribadi menjadi 35 persen untuk penghasilan di atas Rp 5 miliar.
"Contoh tweet positifnya, ada yang menganggap tarif PPh yang berkeadilan ini akan menjadi tonggak reformasi perpajakan di Indonesia. Lalu juga ada yang beranggapan, kebijakan ini memberikan keberpihakan pada masyarakat kecil dan UMKM. Ini disebabkan penyesuaian tarif PPh ini mengenakan tarif lebih besar kepada masyarakat yang berpenghasilan besar, dan tarif lebih kecil bagi masyarakat berpenghasilan lebih kecil," bebernya.
Integrasi nomor induk kependudukan (NIK) dengan nomor pokok wajib pajak (NPWP) pun didukung oleh 83 persen netizen. Kebijakan ini dianggap sebuah bentuk reformasi perpajakan, dan menambah optimisme digitalisasi data di Indonesia.
Baca Juga
Advertisement
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
PPN
Natasha melanjutkan, 86 persen netizen juga mengapresiasi keputusan soal jasa pendidikan dan kesehatan yang dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN).
Selain itu, sekitar 90 persen masyarakat pun pro terhadap penerapan pajak karbon, yang ditenggarai bakal membantu pemerintah untuk menyelesaikan dampak pemanasan global dan perubahan iklim.
Namun begitu, Natasha menyampaikan, hampir seluruh netizen atau 97 persen diantaranya menolak digulirkannya kembali program pengampunan pajak atau tax amnesty.
"Disebabkan karena mereka menganggap Undang-Undang Pajak yang baru tersebut menguntungkan orang kaya. Dimana UU tersebut akan menghilangkan sanksi pidana pengemplang pajak, dan pengurangan denda bagi penunggak pajak," tuturnya.
Advertisement