Liputan6.com, Palembang - ‘Kalu Pegi Besepeda, Besepeda ke Pusri, Payo-Payo Para Pemuda, Samo-Samo Bangkitkan Negeri’. Pantun bahasa Palembang ini mengisi irama musik teater Dulmuluk, dengan iringan lagu ‘Dek Tahan’.
Teater dulmuluk dimainkan apik oleh 8 orang anggota Sanggar Harapan Jaya, saat meramaikan event Pemuda Pelopor oleh PDIP Sumatera Selatan (Sumsel), Kamis (28/10/2021).
Logat khas Palembang pun, dibawakan lima orang pemain yang mampu membuat gelak tawa penonton pecah. Ada yang berperan sebagai pangeran, 2 orang Hadam (pelayan kerajaan), Mak Dayang (pengasuh putri kerajaan) dan Hulu Balang (pasukan berkuda).
Baca Juga
Advertisement
Ditambah iringan musik dari tiga orang pemain musik gendang, biola dan bass, yang kian menguatkan alur ceritanya.
Beberapa bahasa lokal Palembang yang kini jarang didengar, juga dipakai dalam dialog teater ini. Seperti ‘Dikongkon’ atau artinya disuruh dan ‘Tingkep’ yang bermakna ditangkap.
Teater jenaka berdurasi 30 menit ini, sukses menghibur para penonton. Pentas seni ini sudah menjadi momen langka, yang bisa ditonton warga Palembang.
Alasannya, karena kearifan lokal ini semakin ditinggalkan warga Palembang. Kecanggihan teknologi, membuat hiburan rakyat ini kurang dilirik lagi. Terlebih di masa pandemi COVID-19, sangat sedikit panggung untuk para pemain Dulmuluk.
Keberadaan Dulmuluk yang kian terpinggirkan, juga dipengaruhi oleh minimnya kaderisasi para pemain, karena minat generasi muda yang sedikit.
Namun Randi Putra Ramadhan (31) bersama teman-temannya di Sanggar Harapan Jaya, tak mau teater Dulmuluk ini nantinya ‘hanya tinggal nama’ saja.
Diakuinya, minat generasi muda untuk bergabung dengan teater Dulmuluk memang kurang. Apalagi tren media sosial (medsos) seperti TikTok, Instagram, dan lainnya, yang menyedot perhatian kawula muda.
“Saya harap, ada program pemerintah untuk membangun minat pemuda. Seperti memasukkan teater Dulmuluk ke ekstrakulikuler sekolah,” ucapnya kepada Liputan6.com.
Teater Dulmuluk memang sudah tak asing lagi di hidup Randi. Pasalnya, ayahnya Jonhar, juga sudah melakoni teater Dulmuluk sejak muda.
Bahkan, ilmu aktingnya ditularkan ke Randi, hingga mereka kini membangun Sanggar Harapan Jaya Palembang. Di usia 5 tahun pun, dia sudah diajak untuk mentas yang membuat kecintaannya terhadap kearifan lokal ini begitu dalam.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Semalam Suntuk
Teater ini, dulunya adalah teater rakyat yang sangat digemari warga Palembang. Bahkan dalam sekali tampil, mereka bisa mentas semalam suntuk. Mulai dari ba’da Isya hingga suara adzan Subuh menggema.
“Dulmuluk mulai jaya di tahun 1960-an. Teater ini sering mengisi acara nikahan atau pesta di tempat warga. Manggungnya di malam hari sampai subuh, penontonnya pun membludak,” katanya.
Tak ada panggung khusus, pencahayaan pun hanya seadanya. Namun Dulmuluk mampu menghibur rakyat, dengan cerita jenaka tentang kerajaan dan kehidupan sehari-hari.
Sebelum mentas, biasanya anggota teater Dulmuluk menggelar ritual khusus. Memanggang ayam dan menyiapkan ketan kunyit.
Seluruh anggota Dulmuluk harus memakan sajian tersebut, hingga habis. Konon katanya, siapa yang mendapatkan makanan paling banyak, dia akan tampil lebih bagus dan bersinar di panggung.
Advertisement
Teater Tradisional
“Itu memang ritual lama, dan sesajen itu disediakan oleh tuan rumah. Kita anggap itu semacam kearifan lokal. Jika ada yang menyediakan, pasti kita ikuti juga ritual tersebut. Namun, kepercayaan pada masing-masing orang,” ujarnya.
Karena Dulmuluk adalah teater tradisional, sehingga tak ada persiapan khusus. Baik apa yang akan dimainkan, siapa pemerannya atau pakaian apa yang digunakan.
Mereka biasanya hanya mempersiapkan H-1 atau secara dadakan, karena anggota teater Sanggar Harapan Jaya sudah hafal dengan alur-alur cerita yang akan diperagakan.
“Dulmuluk cenderung tak latihan. Sifatnya dadakan. H-1 baru menentukan peran, irigan musik, peran dan cerita,” ujar alumnus Universitas PGRI Palembang Jurusan Sendratasik.
Randi pun tak segan mengulas sejarah Dulmuluk, yang ternyata sudah awal di abad ke-19. Di tahun 1865, masuklah karya-karya seniman Raja Ali Haji, dari Pulau Penyengat Kepulauan Riau (Kepri).
Raja Ali Haji
Salah satu sastra yang dikarang Raja Ali Haji adalah cerita Syaid Abdul Muluk. Sekitar tahun 1902, dibuatlah teater di masa Kolonial Jepang. Di tahun 1942, teater sudah mulai manggung di gedung-gedung, yang menceritakan tentang romusha.
“Lalu, Wak Nang Nong, seniman Palembang, mencetuskan pertama kali Dulmuluk, dari sastra Syaid Abdul Muluk. Dari situlah, Dulmuluk mulai dikenal dan tenar, dengan membawakan cerita-cerita kerajaan dan alur kisah Syaid Abdul Muluk karya Raja Ali Haji,” katanya.
Sebagai generasi ke-4 penerus Dulmuluk di keluarganya, Randi berharap teater ini tak lekang oleh waktu dan bisa terus dilestarikan.
Randi yang berprofesi sebagai Guru Seni Budaya di SMK Muhammadiyah 2 Palembang ini juga, kerap mengajak mahasiswa seni dan koleganya, untuk bergabung berteater bersamanya.
“Ada beberapa mahasiswa yang tertarik ikut dan bergabung. Kini ada 30-an anggota teater di sanggar. Dengan memainkan teater Dulmuluk, ini cara kami untuk terus melestarikan kebudayaan Palembang, walau banyak sekali tantangan dan hambatannya,” katanya.
Advertisement