MK Tolak Gugatan Pemutusan Internet, AJI: Kesesatan Berpikir yang Nyata 

Padahal AJI, telah membawa kasus nyata yang dialami Suarapapua.com tatkala kontennya diblokir secara sepihak tanpa penjelasan dari pemerintah.

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Okt 2021, 18:31 WIB
Ilustrasi Internet, Digital, Gaya Hidu Digital. Kredit: Nattanan Kanchanaprat via Pixabay

Liputan6.com, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) selaku salah satu pihak pemohon uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Pasal 40 Ayat (2b) terkait pemblokiran dan pembatasan akses internet di Papua, merasa kecewa atas keputusan Mahkamah Konstitusi (MK).

"AJI tentu sangat kecewa dengan, putusan majelis hakim ini dan saya pikir ini contoh nyata dari kesesatan berpikir gitu ya," kata Ketua Umum AJI Sasmito Madrim seperti dikutip lewat chanel YouTube, Jumat (29/10/2021).

Lantaran gugatan yang dilayangkannya, bersama Arnoldus Belau perwakilan dari media Suarapapua.com untuk perjelas regulasi pemerintah terhadap kewenangan memblokir akses internet maupun pemblokiran secara sepihak telah ditolak majelis hakim MK.

"Karena kita tahu demokrasi kita saat ini sedang tidak baik-baik gitu, oleh karena itu regulasi-regulasi yang buram seperti Pasal 40 Ayat 2b UU ITE ini harus diperjelas. Karena ada potensi penyalahgunaan kekuasaan di situ, itu harus diminimalisir," katanya.

Menurutnya, dengan ditolaknya gugatan ini akan menciptakan kesesatan berpikir yang membenarkan kesalahan tindakan kesewenang-wenangan pemerintah dalam memblokir akses internet maupun konten secara sepihak.

"Argumentasi bahwa penjabat otoritas terkait selaku benar. Pejabat yang memblokir konten selalu dianggap selalu benar oleh majelis hakim," sebutnya.

Padahal AJI, kata Sasmito, telah membawa kasus nyata yang dialami Suarapapua.com tatkala kontennya diblokir secara sepihak tanpa penjelasan dari pemerintah. Di mana kasus itu terjadi pada 2016, Kominfo secara sepihak tanpa alasan yang jelas memblokir konten Suarapapua.com.

"Waktu itu, suarapapua.com tahun 2016 diblokir tanpa penjelasan yang masuk akal dan jelas. Ketika teman-teman menanyakan konten seperti apa yang dianggap memuat konten negatif, Kominfo juga tidak bisa menjelaskan," tuturnya.

Oleh karena itu, menjadi alasan Sasmito bersama organisasi masyarakat sipil lainnya melayangkan gugatan Undang- undang tersebut ke MK. Agar pemerintah tidak bisa bertindak secara sewenang- wenang.

"Jadi kami mendorong AJI, Suarapapua, dan kuasa hukum lainnya supaya ada putusan pengadilan tata usaha negara (PTUN) sebelum ada pemblokiran," ujarnya.

"Jadi tidak hanya notifikasi, atau pemberitahuan. Jadi harus ada putusan putusan pengadilan tata usaha negara yang menjelaskan secara pasti dasar pemblokiran kontennya seperti apa," tambahnya.

Pasalnya, jika aturan tersebut tidak diperjelas. Bukan tidak mungkin apa yang dialami Suarapapua.com bisa dialami media lainnya yang pada akhirnya berdampak merugikan bagi para jurnalis maupun perusahaan media.

"Ketika hasil liputan teman-teman dianggap negatif, ini kemudian diblokir kontennya tanpa penjelasan yang masuk akal dan tanpa transparansi ke publik.Dari pertimbangannya majelis hakim sangat tergambar gitu ya, majelis hakim hanya menilai internet sebagai ancaman padahal fungsi internet dalam pemberdayaan masyarakat sangat banyak dan tidak masuk ke dalam pertimbangan majelis hakim," sebutnya.

 


MK Tolak Gugatan

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak gugatan uji materi Pasal 40 ayat 2b terkait tindakan pemerintah yang memutus internet sebagaimana Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). MK berpendapat tindakan itu konstitusional.

"Pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum. Amar putusan. Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK, Anwar Usman, saat sidang seperti dikutip melalui channel YouTube MK, Rabu (27/10).

Dalam gugatannya, para pemohon yakni Arnoldus Belau selaku perorangan dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang diwakili Abdul Manan berdalil jika Pasal 40 ayat (2b) UU 19/2016 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan secara bersyarat dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 280 ayat (1), Pasal 28F UUD 1945.

Menurut mereka, tindakan pemerintah dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik setelah mengeluarkan keputusan administrasi pemerintahan atau keputusan tata usaha negara secara tertulis untuk melakukan pemutusan akses adalah melanggar hukum.

Bachtiarudin Alam

Reporter: Bachtiarudin Alam

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya