Liputan6.com, Jakarta - Peristiwa kebakaran 22 rumah adat di Kampung Adat Nggela membuat simpati banyak pihak. Munculnya simpati tersebut tak lepas dari adanya Kami Latu Initiative sehingga berhasil mengupayakan dukungan untuk pembangunan 21 rumah adat.
Sebanyak 18 rumah sudah berdiri, tiga rumah dalam tahap persiapan pembangunan. Sementara satu rumah membutuhkan tambahan dana Rp120 juta. Untuk mengumpulkan dana tersebut diadakan kegiatan berupa fashion show dan pameran foto serta lelang.
Baca Juga
Advertisement
"Kami ingin melakukan suatu kebaikan dengan harapan dengan adanya kebaikan itu akan melahirkan kebaikan yang lain. Kami bekerja dengan suka rela, kalau ada orang bertanya ini proyeknya siapa, kami tidak berada bawah siapa pun," ujar Koordinator Kami Latu Initiative, Tatty Apriliyana, di Posbloc, Gedung Filateli, Jalan Pasar Baru, Jakarta Pusat, Jumat, 29 Oktober 2021.
Dari situ kemudian muncul dukungan yang sangat besar dan dukungan pertama datang dari Direktur Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid. Dukungan juga mengalir dari berbagai pihak.
"Kami di Dirjen Kebudayaan, acara ini bukan untuk membangun rumah, tetapi sebagai upaya bersama untuk melestarikan kebudayaan. Karena kami percaya betul bahwa di dalam kebudayaan inilah sesungguhnya terpancar kekuatan bangsa ini," kata Hilmar Farid.
Rumah adat di Nggela merupakan kampung adat Lio terbesar di Flores. Dalam kurun waktu sejak Maret 2019, Kami Latu Initiative bersama banyak pihak melakukan upaya revitalisasi.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Tenun Nggela
Menurut Adra Subadra, desainer yang juga salah satu Koordinator Kami Latu Initiative mengatakan cara ini untuk melakukan penggalangan dana untuk pembangunan rumah terakhir di Nggela dari 22 rumah. Penggalangan dana ini dilakukan dengan menggunakan tenun mama-mama di Nggela.
"Mereka yang menenun kainnya, aku hadir fashion designernya yang mengubah tenunnya itu. Kalau tenun saja, orang kebanyakan bingung mau jadi apa saja. Apa mau kain saja atau hiasan dinding saja kayaknya terbatas," ujar Adra kepada Liputan6.com.
Keterbatasan kain itu, kata Adraa, kemudian dipecah menjadi 22 baju yang mewakili 22 rumah yang terbakar. Semua baju tersebut dilelang serta tiga kain Nggela lainnya yang asli dari sana.
"Dari lelang itu kami berhasil mengumpulkan uang sebesar 150,5 juta. Dana tersebut akan digunakan untuk pembangunan rumah adat terakhir," imbuh Adra.
Advertisement
Semua Warna Alami
Adra menambahkan, semua bahan menggunakan warna alami. Proses menenun dengan menggunakan warna alami biasanya memakan waktu sekitar enam bulan hingga dua tahun.
"Petik indigonya untuk diubah jadi pewarna alam atau dari kayu-kayu dan tumbuhan ditumbuk menjadi bubuk sehingga menjadi warna alam. Proses menenunnya bisa memakan waktu dua hingga tiga bulan. Pembuatan pewarna alamnya itu yang paling lama, " tutur Adra.
Adra kemudian mengombinasikannya dengan warna alam juga dengan tekniknya yang bermacam-macam, seperti ecoprint, celupan, dan lain-lain. Tapi semuanya kombinasi dari warna alami.
Infografis: 4 Unsur Wisata Ramah Lingkungan atau Berkelanjutan
Advertisement