Liputan6.com, Jakarta Pasar saham dalam negeri saat ini sedang dalam kondisi prima. Hal tersebut terlihat dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang sempat terbang ke level 6.643 atau melonjak secara year to date (11,2 persen) pada 21 Oktober 2021. Namun di sisi lain pelaku pasar masih harap-harap cemas terkait dampak tapering off yang bisa terjadi di akhir tahun ini.
Direktur Pengaturan Pasar Modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Edi Broto Suwarno optimis bahwa tren pertumbuhan pasar modal nasional masih akan berlanjut di tahun 2022. Salah satu alasannya adalah meningkatnya korporasi atau UMKM yang memanfaatkan pasar modal sebagai sumber pembiayaan usaha.
Advertisement
“Di sektor pasar modal sendiri, kami melihat tren penguatan ISHG, ini diperkirakan akan terus berlanjut. Sementara, pemanfaatan pasar modal sebagai sumber pendanaan akan terus meningkat. Hal ini dipicu oleh kebutuhan korporasi maupun UMKM terhadap sumber-sumber pembiayaan di pasar modal,” jelas Edi dalam InfobankTalkNews Media Discussion dengan tema ‘Outlook Pasar Modal 2022: Momentum Pemulihan Ekonomi dan Imbas Tapering The Fed’ seperti ditulis, Sabtu (30/10/2021).
Kemudian, pasar modal Indonesia pada tahun depan juga akan diramaikan dengan melantainya perusahaan-perusahaan Unicorn yang bergerak di bidang teknologi. Antusiasme masyarakat pada perusahaan teknologi bisa dilihat dari penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO) Bukalapak pada Agustus lalu.
Asal tahu saja, entitas hasil konsolidasi antara Gojek dan Tokopedia, Go To juga berencana akan melakukan IPO di 2022. “Antusiasime ini tentunya akan berdampak positif pada pasar modal tahun depan,” ujarnya.
Meskipun demikian, Edi juga mengingatkan agar setiap investor memperhatikan tantangan global di 2022 mendatang. Adapun tantangan-tantangan tersebut adalah pemulihan ekonomi global maupun domestik yang diliputi ketidakpastian dan potensi terjadinya gelombang ketiga varian Covid-19.
Selain itu, masih ada risiko kejadian global yang tidak terduga seperti krisis energi maupun kasus Evergrande yang memperlambat perekonomian Tiongkok, serta normalisasi kebijakan moneter atau tapering off Bank Sentral AS, The Fed yang kemungkinan akan dimulai pada 2021.
Sementara itu, Kepala Divisi Riset dan Pengembangan Bursa Efek Indonesia (BEI) Verdi Ikhwan pun menyebut, proyeksi analis sendiri untuk IHSG bisa tembus ke angka 7.000. Ia mengungkapkan, bahwa IHSG sempat tembus ke level 6.643 pada 21 Oktober 2021. Angka ini, kata dia, sedikit lagi akan mencapai rekor sepanjang sejarah pasar modal Indonesia yaitu di angka 6.689 yang dicapai pada Februari 2018 silam.
"Jadi mudah-mudahan melihat kondisi sekarang, kita, ada analis bisa tembus sampai 7.000," ucap dia.
Menurutnya, tahun 2021 tampaknya menjadi tahun dimana perusahaan-perusahaan semakin tertarik untuk melakukan penawaran umum saham perdana atau initial public offering (IPO). Bursa Efek Indonesia sendiri mencatat sudah ada 38 perusahaan baru yang melantai di bursa saham hingga September 2021 dan masih ada beberapa perusahaan yang menargetkan IPO hingga akhir tahun 2021. Ia berharap jumlah perusahaan yang IPO di 2021 bisa melebihi dari tahun lalu.
"Di tahun 2021 sampai September, sudah ada 38 perusahaan baru yang tercatat di BEI. Di pipeline masih ada sekitar 21 - 27. Kita berharap sampai akhir tahun bisa tembus diatas 50 dan melebihi pencapaian kita di 2020," ucapnya.
BEI mencatat jumlah dana pasar modal yang dihimpun di 2021 juga melonjak cukup tajam jika dibandingkan 2020. Jika tahun lalu dana yang dihimpun mencapai Rp5 triliun, saat ini dana yang terkumpul dari penawaran saham perdana sudah menembus lebih dari Rp30 triliun. Hal ini tidak lepas dari aksi korporasi perusahaan besar seperti Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan IPO perusahaan teknologi seperti Bukalapak.
Lebih jauh, ketertarikan korporasi memanfaatkan pasar modal sebagai sumber pembiayaan juga tidak lepas dari jumlah investor yang terus bertambah. BEI mencatat hingga September 2021, jumlah investor di pasar modal Indonesia sudah bertambah sebanyak 6,4 juta. Angka ini meningkat 65,74% jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya.
Semakin besarnya pasar modal Indonesia diharapkan dapat berdampak baik pada perekonomian. Sehingga pemulihan ekonomi bisa berjalan lebih cepat dan efektif.
Direktur Equtor Swarna Investama Hans Kwee menambahkan, dampak tapering mungkin tidak akan terlalu besar menggangu pasar saham di negara berkembang, termasuk Indonesia. Menurutnya, hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya The Fed sudah sangat transparan, kebijakan ini sudah diantisipasi pelaku pasar dan pembuat kebijakan cukup lama, kondisi ekonomi makro Indonesia lebih baik ketimbang tahun 2013 silam.
“Lalu, mata uang negara berkembang termasuk Indonesia saat ini pada posisi undervalued, dominasi kepemilikan asing di instrument keuangan Indonesia relative lebih kecil dan bantalan yang lebar (Yield 10 Yeat Government Bond),” kata Hans Kwee.
Namun, lanjut Hans Kwee, yang justru seharusnya diperhatikan adalah peluang The Fed menaikkan suku bunga jauh lebih cepat daripada negara-negara maju yang lain. Karena, sembilan dari 18 pejabat The Fed siap untuk menaikkan suku bunga tahun depan sebagai respons atas kenaikan inflasi yang diperkirakan mencapai 4,2 persen pada tahun ini, lebih dari dua kali lipat dari target yang ditetapkan 2 persen.
“Bila terjadi kenaikan suku bunga di tahun 2022 diperkirakan akan memberikan dampak yang lebih besar dan lama terhadap pasar keuangan negara berkembang,” paparnya.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Investor Masih Percaya
Di diskusi yang sama, Ekonom Ryan Kiryanto menilai, bahwa sejauh ini kepercayaan investor asing kepada pemerintah Indonesia masih terjaga dengan baik meski belakangan ini tengah hangat isu mengenai tapering off yang akan dilakukan The Fed pada November 2021.
“Kita enggak usah khawatir dengan investor SBN (surat berharga negara) atau SUN (surat utang negara) kita, karena paling tidak trust dari foreign investor atau investor asing terhadap pemerintah Indonesia itu masih di jaga dengan baik. Ini dilihat dari porsi kepemilikan surat utang oleh investor asing,” katanya.
Sebagai informasi, per 7 Oktober 2021, porsi kepemilikan asing di SBN mencapai Rp956 triliun atau 21,45% dari total Rp4.457,5 triliun yang diperdagangkan. Terkait tapering off, ia optimis Gubernur Bank Indonesia (BI), Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), maupun Menteri Keuangan dapat menghandle kemungkinan-kemungkinan terburuk yang ditimbulkannya.
“Makanya, baik Gubernur BI, Ketua Dewan Komisioner OJK, Menteri Keuangan kita semuanya optimis, kita bisa meng-handle atau mentackle kemungkinan-kemungkinan terburuk sekiranya tapering off dan kenaikan suku bunga The Fed itu akan dilakukan. Artinya, rencana-rencana ini sudah price in in the market, sudah di factor in di pasar oleh pemain kita. Sehingga tidak akan terjadi kejutan yang akan extra ordinary seperti yang terjadi di 2013 lalu,” jelas Ryan.
Dirinya juga optimis, jika tahun ini ekonomi nasional akan tumbuh lebih baik. Hal ini sejalan dengan kinerja capital market yang juga tengah menunjukan hal yang sama.
“Market capital kita naik, jumlah investor naik, jumlah investor naik, karena mereka melihat perkembangan ekonomi kita terkini maupun ke depannya di valuasi akan berada pada jalur yang benar. Dan mudah-mudahan ini terus bergerak ke atas, dan kita meyakini bahwa policy makers kita selalu in the market,” tutup Ryan.
Advertisement