Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, dirinya baru saja mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK), yang turut membahas pengenaan pajak karbon. Hal ini diklaim menjadikan Indonesia penggerak pertama penanggulangan perubahan iklim berbasis pasar di tingkat global untuk menuju pemulihan ekonomi kelanjutan.
Pengesahan peraturan ini juga disampaikan oleh Jokowi dalam pertemuan Conference of the Parties (COP) 26 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Glasgow, Brittania Raya.
"Penetapan Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon ini merupakan tonggak penting dalam menetapkan arah kebijakan Indonesia menuju target NDC 2030 dan net zero emission 2060, sebagai bagian dari ikhtiar menuju Indonesia Emas tahun 2045," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, Selasa (2/11/2021).
"Diharapkan investasi hijau global akan berlomba menuju Indonesia, di samping kesempatan untuk mendapatkan pembiayaan berbiaya rendah hijau global," ujar dia.
Febrio menekankan, selain pandemi, perubahan iklim akan menjadi tantangan global yang perlu ditangani bersama. Itu telah ditunjukan Pemerintah RI, ketika pada 2016 telah meratifikasi Paris Agreement yang di dalamnya terdapat komitmen Nationally Determined Contribution (NDC).
"Komitmen tersebut kemudian dipertegas menjadi bagian dari dokumen perencanaan pembangunan nasional 2020-2024 dan menjadikan penanganan perubahan iklim sebagai salah satu agenda prioritas nasional. Hal tersebut menunjukkan betapa kuatnya dukungan atas komitmen global tersebut," seru Febrio.
Indonesia sendiri telah menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Indonesia juga telah menargetkan untuk mencapai net zero emission di 2060, atau lebih awal.
Baca Juga
Advertisement
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Carbon Pricing
Dikatakan Febrio, selain komando dan kendali (command and control), upaya penurunan emisi gas rumah kaca dapat dilakukan melalui pendekatan berbasis pasar (market-based instruments/MBI). Kebijakan berbasis pasar mendasarkan kebijakannya pada aspek penetapan nilai ekonomi karbon atau yang sering disebut dengan carbon pricing.
"Secara umum, carbon pricing terdiri atas dua mekanisme penting yaitu perdagangan karbon dan instrumen non-perdagangan. Jika instrumen perdagangan terdiri atas cap and trade serta offsetting mechanism, maka instrumen non-perdagangan mencakup pungutan atas karbon dan pembayaran berbasis kinerja atau result-based payment (RBP)," terangnya.
Mengutip Sri Mulyani pada sidang paripurna DPR RI, 7 Oktober 2021, pemerintah disebut akan melakukan transisi yang tepat agar pengenaan pajak karbon tetap konsisten dengan momentum pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19.
Dengan memanfaatkan first mover advantage, Febrio menyatakan, Indonesia akan jadi acuan dan tujuan investasi rendah karbon di berbagai sektor pembangunan, baik di sektor energi, transportasi, maupun industri manufaktur.
"Industri-industri berbasis hijau akan menjadi primadona investasi masa depan. industri kendaraan listrik, sumber-sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, panas bumi, dan angin akan menjadi pendongkrak ekonomi dan mampu memberikan nilai tambah bagi bangsa Indonesia serta menyerap tenaga kerja yang berkeahlian tinggi," tuturnya.
"Ini merupakan kesempatan emas untuk mensejajarkan bangsa Indonesia dengan negara-negara lain dan di saat yang sama mampu menjaga warisan bumi Indonesia yang sehat dan berkelanjutan yang dipinjamkan oleh anak cucu kita," pungkas Febrio.
Advertisement