Liputan6.com, Jakarta Penyakit Alzheimer umumnya menyerang kelompok orang yang sudah lanjut usia. Penyakit tersebut umumnya memiliki gejala mudah lupa hingga hilang ingatan sepenuhnya.
Laporan yang dipublikasikan Yayasan Alzheimer Indonesia pada 2019 memperkirakan sekitar 46,8 hingga 50 juta orang di dunia mengidap penyakit demensia Alzheimer. Sementara itu, untuk Asia Pasifik sebanyak 20,9 juta orang.
Advertisement
Namun, hingga saat ini, belum ada penelitian yang dapat menemukan secara akurat bagaimana perkembangan dan munculnya penyakit tersebut.
Terlepas dari kehadirannya yang begitu merugikan banyak orang, studi baru belakangan ini masih mencoba melakukan penelitian.
Melansir dari Mind Body Green, Rabu (3/11/2021), sebuah jurnal yang diterbitkan dari Science Advances yang berjudul In Vivo Rate-Determining Steps of Tau Seed Accumulation in Alzheimer’s Disease pada 2021 menggunakan data manusia langsung untuk mengidentifikasikan perkembangan penyakit di otak.
Penyebab Alzheimer
Penyakit tersebut ditemukan terdapat dua protein (amyloid-beta dan tau) yang mengakibatkan penurunan kognitif. Hal tersebut sejalan dengan dampak yang dirasakan para pengidap yaitu mudah lupa.
Penumpukan kedua protein tersebut disebut agregat. Dampak yang dimiliki berperan atas hilangnya ingatan, perubahan kepribadian, hingga membunuh sel-sel yang ada di otak.
Asumsi dan spekulasi yang dimiliki peneliti adalah mengira bahwa penyakit tersebut menyebar dari satu wilayah otak ke wilayah yang lain. Menurut peneliti Geogle Meisl, cara kerjanya hampir mirip dengan kanker.
Dengan menggunakan sampel otak dari pengidap Alzheimer yang telah meninggal dunia, pemindaian yang dilakukan dan dibandingkan dengan pasien yang masih hidup. Pelacakan dilakukan guna mengetahui cara agregat dari tau berkembang.
“Kami mencoba menghentikan penyebaran antar daerah yang tidak akan membantu banyak dalam memperlambat penyakit ini,” tambah Meisl.
Advertisement
Solusi Pengobatan
Meskipun masih belum ada pengobatan untuk penyakit neurodegeneratif (jenis penyakit yang menurunkan fungsi kognitif), penelitian ini membawa para ilmuwan selangkah lebih dekat untuk memahaminya.
“Kunci dari penemuannya adalah menghentikan replikasi agregat tau yang ada dibanding propagasinya (perambatan antar sel) yang jauh lebih efektif pada tahap penyakit yang sedang dipelajari,” tambah peneliti lain Tuomas Knowles.
Kabar baiknya adalah, temuan replikasi dari agregat tau cukup lambat, kira-kira sekitar loma tahun. “Neuron secara mengejutkan dapat menghentikan pembentukan agregat,” tambah peneliti demensia Sir David Klenerman.
Adapun, masih ada cara dan rangkaian uji coba yang harus dilakukan untuk membuat penanganan lebih efektif. Secara ringkas, meskipun belum ada pengobatannya, ada kemungkinan bagi peneliti untuk menemukan sel yang lebih akurat dan bisa selangkah lebih dekat.
Sementara itu, pencegahan yang dapat dilakukan adalah dengan memerangi penurunan kognitif pada setiap usia atau yang sudah memiliki potensi mengalami Alzheimer, salah satunya seperti menambahkan banyak asam amino ke dalam makanan Anda.
Reporter: Caroline Saskia