Liputan6.com, Jakarta - Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menjanjikan akan melakukan evaluasi terkait temuan polisi tentang penyebab peristiwa kecelakaan yang menimpa dua bus TransJakarta. Disebutkan kecelakaan terjadi akibat kondisi sang sopir yang mengalami epilepsi saat bertugas.
"Soal evaluasi, tentu temuan dari polisi menjadi penting untuk menjadi bahan pertimbangan dan evaluasi dari Transjakarta," kata Riza di Balai Kota Jakarta, Rabu malam, 3 November 2021.
Advertisement
Utamanya mengenai manajemen pengemudi yang menurut Riza memiliki potensi kelelahan tinggi mengingat jalur yang harus dijalani lurus, sempit, dengan tembok pembatas di kanan-kiri jalurnya.
"Sudah saya sampaikan berkali-kali, memang menjadi sopir bus berbeda dengan kendaraan lainnya, karena jalurnya lurus, terbatas ruang gerak dan dikasih pembatas kiri dan kanan. Bahkan ada yang mulai kerjanya itu dari jam tiga pagi sudah keluar. Jadi perlu manajerial yang baik dalam mengelola kesehatan, keselamatan pengemudi dan penumpang," ujarnya.
Riza menekankan pihaknya bakal melakukan evaluasi dan memastikan supaya insiden seperti itu tidak terulang kembali, termasuk soal manajerial waktu pengemudi hingga rekrutmen.
"Kami pastikan akan melakukan evaluasi dan tidak terulang kembali," ujar dia yang dikutip dari Antara.
Penyidik Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya menghentikan penyidikan kasus tabrakan maut bus Transjakarta di Cawang, Jakarta Timur, karena tersangka dalam kasus tersebut yakni sopir bus berinisial J telah meninggal dunia.
"Ini kita hentikan dengan mekanisme SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) karena tersangka meninggal dunia sesuai dengan Pasal 77 KUHP," kata Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Sambodo Purnomo Yogo di Jakarta, Rabu.
Dalam penyidikan kasus tersebut polisi dengan dibantu oleh Dinas Perhubungan DKI Jakarta dan personel ATPM PT Hino selaku pabrikan bus turut mendalami dugaan masalah teknis pada bus tersebut. Meski demikian hasil pemeriksaan mendalam menyatakan bus dalam kondisi layak jalan.
Penyidikan selanjutnya adalah "human error" dan menemukan penyebab kecelakaan tersebut adalah pengemudi yang kehilangan kesadaran akibat serangan epilepsi beberapa saat sebelum terjadinya tabrakan.
"Kehilangan kesadaran tersebut diduga disebabkan serangan epilepsi secara tiba-tiba," kata Sambodo.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Sopir Tidak Minum Obat
Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap rekannya, J diketahui harus mengkonsumsi obat syaraf yakni Phenytoin dan obat darah tinggi Amlodipine. Namun berdasarkan hasil pemeriksaan urine, pada saat kejadian korban tidak meminum obat syaraf yakni phenytoin sehingga mengakibatkan serangan epilepsi.
"Serangan tersebut dimungkinkan karena yang bersangkutan tidak minum obat saraf phenytoin yang terlihat tidak adanya kandungan phenytoin baik di urine maupun darah pengemudi dari hasil pemeriksaan labfor," ujar Sambodo.
Berdasarkan tulisan Malcolm P Taylor dalam Managing Epilepsy, penyandang epilepsi mendapat batasan untuk melamar pekerjaan, baik itu secara hukum, oleh peraturan perusahaan, atau bahkan berdasarkan keputusan dari perekrut sendiri, sehingga menurunkan jumlah lowongan pekerjaan yang tersedia.
Terlebih, menurut Orrin Devinsky dalam Epilepsy: Patient an Family Guide, dengan adanya stigma sosial membuat para penyandang epilepsi semakin sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Banyak perusahaan tetap enggan memperkerjakan pengidap epilepsi, meskipun terbukti bebas serangan melalui pengobatan atau operasi.
Meskipun, berdasarkan penelitian Yayasan Epilepsi Indonesia, tidak sedikit dari mereka yang memiliki IQ di atas rata-rata, karena penyakit tersebut tidak berhubungan dengan IQ.
Advertisement